Skip to content

Partisipasi Masyarakat Rentan dalam Pembangunan Berkelanjutan

Anwar Muhammad Foundation –Tanggal 18 April merupakan salah satu hari bersejarah bagi Indonesia. Di tahun 1955, Indonesia menjadi penyelenggara Konferensi Asia Afrika (KAA) yang mengundang 29 negara. Acara ini dilaksanakan di Gedung Merdeka, Bandung. Konferensi Asia Afrika diselenggarakan untuk membangun solidaritas bangsa Asia dan Afrika yang terkena dampak perang dunia kedua. Hal ini karena bangsa Asia dan Afrika merupakan bangsa yang banyak dijajah saat itu. Meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda, konferensi ini menjadi pemersatu rasa senasib sepenanggungan antara negara-negara Asia Afrika yang hadir.

Mengenang Konferensi Asia-Afrika

(sumber foto: asianafricanmuseum.org)

Pada KAA, Presiden Soekarno yang sangat membekas di hati peserta konferensi. Beliau memberikan pidato yang menyatakan bahwa tanpa persatuan Asia dan Afrika, keamanan global tidak akan bisa terwujud. Tidak hanya itu, KAA menjadi momentum lahirnya kembali bangsa Asia dan Afrika. Hal ini semakin mendorong semangat peserta KAA untuk bisa memajukan negaranya yang notabene masih baru merdeka.

KAA menghasilkan suatu deklarasi yang disebut dengan Dasasila Bandung. Fokusan Dasasila Bandung mencakup hak asasi manusia, kedaulatan, perdamaian, keadilan, keadilan, serta kerja sama antar bangsa. KAA juga menjadi cikal bakal berbagai konferensi lainnya. Beberapa konferensi yang sempat diselenggarakan meliputi Konferensi Mahasiswa Asia Afrika, Konferensi Wartawan Asia Afrika, dan Konferensi Islam Afrika Asia.

Baca Juga: Transportasi Berkelanjutan dalam Menyambut Mudik Lebaran

Leave No One Behind: Mengikutsertakan Masyarakat Rentan dalam Pembangunan

KAA merupakan cerminan upaya mengikutsertakan masyarakat paling rentan agar bisa terjangkau pembangunan. Hal ini sesuai dengan fokus Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 yang menekankan pada bagaimana masyarakat paling rentan dan miskin dapat dijangkau. Beberapa kelompok rentan yang didefinisikan dalam agenda ini yaitu anak, anak muda, penyandang disabilitas, penderita HIV/AIDS, serta lansia. Terdapat pula masyarakat pedalaman, pengungsi, imigran, dan masyarakat yang tinggal di area terdampak masalah kemanusiaan dan terorisme.

Baca Juga: PLTS Terapung: Terombang-ambing Demi Energi Terbarukan

Upaya mencapai seluruh kalangan masyarakat menjadi cikal bakal prinsip Leave No One Behind dalam pembangunan berkelanjutan. Prinsip ini merupakan dasar komitmen PBB untuk mengakhiri kemiskinan, diskriminasi, ketidaksetaraan, dan kerentanan yang menjadikan masyarakat tertentu tertinggal dalam pembangunan.

Meningkatkan partisipasi masyarakat rentan dalam pembangunan dilakukan dengan 3 tahapan, yaitu examine, empower, dan enact. Examine berarti perlu dilakukan identifikasi siapa saja masyarakat yang rentan berdasarkan data-data yang kredibel dan nyata. Dalam tahap ini juga perlu dilakukan analisis mengapa masyarakat-masyarakat tersebut bisa tertinggal sehingga akar permasalahan dapat diselesaikan.

Baca Juga: Supply Minyak Goreng Mencukupi, Lalu Mengapa Harga-nya Naik?

Empower kemudian dilakukan, yaitu memberdayakan masyarakat dengan berbagai cara. Forum-forum yang bertujuan untuk mengumpulkan pandangan masyarakat rentan dapat diadakan. Program-program partisipatif serta yang memberdayakan masyarakat harus banyak diselenggarakan. Masyarakat diberdayakan dengan peningkatan kapasitas serta diberikan kesempatan untuk berpartisipasi lebih dalam pembangunan.

Selanjutnya, enact yang berarti menetapkan kebijakan yang strategis dilakukan. Pemerintah harus mengintegrasi komitmen inklusi sosial dalam strategi, perencanaan, serta pendanaan negara. Hukum dan kebijakan yang fokus akan kesetaraan dalam masyarakat harus digalakkan. Berbagai sektor pemerintahan harus bersikap responsif akan masyarakat yang rentan dalam pembangunan di masing-masing bidang.

Author