Skip to content

Praktik Ekonomi Hijau Tuai Beribu Keuntungan

  • by
Praktik Ekonomi Hijau

Anwar Muhammad Foundation – Gaya hidup ‘hijau’ telah berkembang dalam beberapa dekade terakhir dan menjadi konsep yang populer karena semakin banyak orang mengakui manfaat dari praktiknya. Seperti yang diketahui, dewasa ini berbagai negara dihadapkan pada masalah degradasi sumber alam, sumber daya energi, lingkungan, dan sumber daya pangan. Eksploitasi sumber daya alam tak terbarukan semakin memperburuk lingkungan karena perilaku manusia yang tidak ramah lingkungan. Sementara itu, ancaman perubahan iklim dan pemanasan global semakin mengurangi keberlanjutan bumi dalam memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan manusia di dunia.

Pembangunan berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan generasi saat ini

(sumber foto: pixabay.com)

Dalam hal ini dapat menjamin generasi berikutnya dalam hal pemenuhan kebutuhan (United Nations Division for Sustainable Development, 2007). Konsep pembangunan berkelanjutan tidak hanya mencakup isu lingkungan, tetapi juga melibatkan tiga kebijakan: ekonomi, sosial, dan perlindungan lingkungan. Di Indonesia, pembangunan berkelanjutan dimulai sejak 1970-an, namun lebih fokus pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Jika hanya fokus pada sektor ekonomi dan mengabaikan lingkungan, upaya menjaga fungsi lingkungan dan keberlanjutan sumber daya alam akan sulit.

Baca Juga: Menilik Ekonomi Berkelanjutan dalam Wawasan Indonesia 2045

Untuk menjawab permasalahan tersebut, saat ini Indonesia sudah mulai mengembangkan pendekatan Ekonomi Hijau (Green Economy Approach). Ekonomi hijau merupakan suatu lompatan besar meninggalkan praktik-praktik ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek yang berujung pada timbulnya permasalahan lingkungan. Sektor kehutanan dan gambut merupakan sektor yang menyumbang emisi gas rumah kaca terbesar, yakni mencapai 61% dari total emisi Indonesia. Akan tetapi, sektor dan gambut memiliki proses mitigasi lingkungan dengan biaya yang efisien.

Dalam Studi Penilaian Ekosistem Hutan (Forest Ecosystem Valuation Study) oleh CIFOR (2020), diungkapkan bahwa penerapan ekonomi hijau menyumbang lebih banyak manfaat bagi suatu negara dibandingkan praktik ekonomi tanpa kepedulian lingkungan. Adapun, ekonomi hijau merupakan paradigma ekonomi baru yang meminimalkan faktor kerusakan lingkungan dan diharapkan dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Dalam penelitian ini dipaparkan bahwa hutan sangat berperan penting bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hutan adalah sumber perekonomian karena didalamnya terdapat pemenuh kebutuhan pangan, energi, dan bahan bangunan bagi kehidupan manusia selama ribuan tahun. Hutan berada di garis terdepan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih lestari. Dalam studi Penilaian Ekosistem Hutan, dijelaskan apabila Indonesia menerapkan ekonomi hijau, lapangan kerja bidang kehutanan pada 2030 diproyeksikan akan terbuka untuk 247.945 orang. Sementara itu, praktik ekonomi tanpa memperhatikan lingkungan hanya akan membuka lapangan kerja bidang kehutanan untuk 193.774 orang.

Tak hanya itu, penerapan ekonomi hijau juga dinilai dapat menekan emisi karbon. Penelitian ini mengungkapkan dengan penerapan ekonomi hijau, emisi karbon kumulatif yang dihasilkan selama 2015 hingga 2030 hanya 689 juta TCO2. Sementara, penerapan ekonomi secara biasa dapat menghasilkan 2.484 juta TCO2 dalam kurun waktu 2015 hingga 2030.

Ekonomi Hijau dan Pembangunan Rendah Karbon

(sumber foto: pixabay.com)

Dalam konteks perubahan iklim dan ekonomi hijau 2010, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) meluncurkan Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR). ICCSR ini memuat strategi sembilan sektor, yaitu kehutanan, energi, industri, transportasi, limbah, pertanian, kelautan dan perikanan, sumber daya air, dan kesehatan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim hingga tahun 2030 ke depan.

Presiden Joko Widodo berkomitmen dalam penanganan perubahan iklim global pada COP21 di Paris, Desember 2015. Komitmen tersebut mencakup reduksi emisi GRK sebesar 29% secara mandiri dan 41% dengan dukungan internasional dibandingkan dengan baseline tahun 2030. Komitmen ini telah diratifikasi melalui Undang-Undang No.16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change dan diimplementasikan melalui konsep Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPRK). Kementerian PPN/Bappenas memegang peranan penting untuk mengarusutamakan PPRK menjadi salah satu agenda prioritas nasional dalam RPJMN 2020 – 2024.

Baca Juga: Tantangan dalam pengukuran dampak Sosial Lingkungan ESG

Pembangunan Rendah Karbon (PRK) adalah platform pembangunan baru yang diinisiasi PPN/Bappenas untuk pertumbuhan ekonomi dan sosial melalui pembangunan rendah emisi dan pengurangan eksploitasi SDA. Menurut laporan Bappenas Maret 2019, PRK dapat meningkatkan PDB Indonesia sebesar 6% per tahun hingga 2045 melalui mekanisme rendah karbon. Implementasi mekanisme rendah karbon dapat mengurangi emisi hingga 43% pada 2030, melampaui target Perjanjian Paris, dan membuka peluang ekspor baru bagi Indonesia.

Dengan penerapan mekanisme perdagangan karbon yang terintegrasi dan terkontrol melalui bursa komoditas, Indonesia berpotensi mengarah ke ekonomi hijau lebih cepat dari rencana semula.

.

Ditulis oleh Tim AMF, RIB, dan IAP2 Indonesia

Author