Skip to content

Memetik Inspirasi dari Ecovillage yang Telah Lama Berkiprah

Anwar Muhammad Foundation – Hidup di suatu lingkungan yang tentram, damai, dan berkelanjutan merupakan impian bagi banyak orang. Kita telah lama terdistraksi oleh hiruk pikuk yang sudah menjadi normal dalam keseharian. Perkembangan teknologi tidak bisa dipungkiri membuat kita terjebak dalam gelembung individualisme. Kepekaan terhadap sekitar tidak lagi setajam dulu. Melihat fenomena ini, perubahan perlu terjadi.

Ecovillage merupakan suatu ide menarik yang patut diimplementasikan dalam kehidupan. Meskipun di dalamnya terkandung istilah “village”, konsep ini tidak hanya bisa dilakukan di desa. Dalam satuan masyarakat yang lebih luas pun, Ecovillage bisa diterapkan. Beberapa wilayah sudah mencoba untuk mengaplikasikan konsep Desa Berbudaya Lingkungan.

Hidup Bertoleransi di Sieben Linden, Batzendorf, Jerman

(Sumber foto: ecovillage.org)

Sieben Linden merupakan salah satu Ecovillage yang sudah berkiprah cukup lama. Masyarakatnya hidup dengan sejahtera meskipun terdapat beberapa regulasi yang membatasi. Luas lahan yang bisa dihuni setiap orangnya diatur sedemikian rupa. Terdapat pula aturan tentang material bangunan yang tidak dianjurkan untuk digunakan karena kurang ramah lingkungan. Konsumsi produk juga diatur dilihat dari kelokalannya. Semua itu dilakukan untuk menggunakan sumber daya seminimal mungkin.

Meskipun terdengar ekstrem, masing-masing warga Sieben Linden melakukan pendekatan yang berbeda-beda dalam menerapkan hidup berkelanjutan. Terdapat warga yang sangat peduli dengan lingkungan sehingga berbagai aktivitas yang dilakukan terkesan sangat tegas. Contohnya, suatu keluarga rela mengendarai sepeda seberapapun jauhnya destinasi yang ingin dituju. Hal ini bertujuan untuk mencegah emisi karbon ke atmosfer. Namun, warga lain masih mengizinkan dirinya untuk menaiki pesawat saat berlibur keluar negeri, meskipun dampak pesawat terhadap lingkungan tidaklah baik.

Toleransi terhadap upaya berkelanjutan yang dilakukan masing-masing orang ditoleransi. Yang terpenting adalah masing-masing individu ingin berkontribusi dalam perwujudan keberlanjutan di desanya. Mereka tidak menghakimi bagaimana pendekatan yang dilakukan oleh orang lain sekalipun secara objektif tidak lebih baik daripada mereka.

Baca Juga: Ecovillage 101: Desa Mampu Menjadi Role Model Keberlanjutan

Dari segi sosial, struktur masyarakat tercipta dengan masing-masing orang memiliki hak suara. Regulasi yang “membatasi” aktivitas keberlanjutan mereka merupakan kesepakatan bersama. Hal ini didasari pada kekhawatiran masyarakat akan dampak buruk kehidupan bagi lingkungan. Tidak ada masyarakat yang terpaksa mengimplementasikan kebijakan.

Kerjasama juga tetap diterapkan. Instalasi teknologi ramah lingkungan, seperti panel surya, bisa dilakukan secara gotong royong. Hidup secara individualis akan sulit mewujudkan keberlanjutan di komunitas. Manusia harus saling bahu membahu untuk bisa melakukan transformasi dalam hal apapun, termasuk dalam mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan.

Hidup “Mewah” di Earthaven, AS

(Sumber foto: ecovillage.org)

Masyarakat Earthaven, Amerika Serikat, merasa sejahtera tinggal di Ecovillage versi mereka. Mereka hidup tanpa televisi, AC, oven elektrik, serta hair dryer. Listrik yang mereka gunakan sangat minim. Mereka tidak menggunakan listrik dari pembangkit listrik sama sekali. Tidak hanya itu, mereka hidup tanpa instalasi air bersih dan sistem pembuangan air limbah.

“Keterbatasan” hidup mereka bukan tanpa alasan. Sumber listrik yang digunakan oleh masyarakat Earthaven adalah panel surya. Mereka akhirnya tidak membutuhkan pembangkit listrik publik untuk menghasilkan daya listrik. Namun, dari segi konsumsi, peralatan listrik yang sifatnya tersier tidak digunakan.

Meskipun tidak terdapat instalasi pengolahan air bersih, warga Earthaven hidup dengan mendaur ulang air limbah rumahnya. Selain itu, mata air daerah tersebut masih terjaga, sehingga penggunaan mata air dan sumur bisa dilakukan. Air hujan juga menjadi satu dari berbagai sumber air yang mereka gunakan sehari-hari. Untuk limbah kotoran manusia, metode pengomposan mereka gunakan.

Baca Juga: Siapakah yang Dapat Melakukan Perdagangan Karbon?

Terdapat pertanian organik yang menyediakan sayuran dan buah. Peternakan juga dapat menyediakan produk seperti telur dan daging bagi masyarakat. Meskipun terkesan terbatas, masyarakat Appalachian menganggap hidup mereka kaya.

Banyak aktivitas sosial yang dilakukan untuk menyatukan warganya. Dalam aktivitas ekonomi pun, memperkerjakan atau bekerjasama dengan tetangga sendiri pun sering dilakukan. mereka tidak makmur sendirian. Dari segi keseharian, mereka sering saling pinjam peralatan rumah hingga kendaraan. Aset pribadi bagaikan aset bersama yang bisa dibagi.

Hidup Bahagia Bersama di Taman Petanu, Bali

Indonesia tidak mau ketinggalan dengan negara lain untuk menerapkan konsep Ecovillage. Salah satu Ecovillage yang bisa menjadi teladan bagi daerah lain adalah proyek Ecovillage Taman Petanu, Bali. Berawal dari perhatian beberapa tokoh masyarakat yang memiliki visi yaitu hidup bersama dengan lebih baik, Ecovillage dicanangkan.

Taman Petanu menerapkan sistem permakultur. Permakultur merupakan suatu konsep dimana desain lingkungan yang berkelanjutan diintegrasikan dengan sistem pertanian. Konsep ini bertujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara komunal secara berkelanjutan. Pemanfaatan sumber daya yang tersedia dilakukan secara ramah lingkungan.

Pada Ecovillage Taman Petanu, lanskap dibagi untuk berbagai keperluan. Terdapat lahan yang digunakan untuk permukiman dan kebun yang terdiri atas tumbuhan pangan. Lahan tertentu diperuntukkan untuk ruang publik dan taman. Terdapat pula bagian lahan yang digunakan untuk tempat komunal ataupun tempat produksi komersial. Tidak lupa disediakan wilayah cagar alam serta tempat satwa liar bertahan hidup.

Author