Skip to content

Kajian Akademik Kebijakan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) di Indonesia

Bersumber dari materi Prof. Deendarlianto, Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada, dalam Webinar Potensi dan Tantangan EBTKE di Indonesia Juni 2021

 

Berbicara mengenai energi terbarukan di Indonesia, seakan masih menjadi tugas besar bangsa dengan segala tantangannya. Berbagai hal harus dihadapi Indonesia untuk mewujudkan cita tantangan energi terbarukan di negara ini adalah karakter panel surya yang terputus-putus menjadi masalah serius untuk pasokan listrik. Selain itu, modul surya masih sangat mahal karena Indonesia masih harus melakukan impor. Juga hingga saat ini perkiraan perubahan angin dinamis masih belum tersedia. Maka dari itu, sangat diperlukan jaringan fleksibel dengan system control teknologi tinggi, teknologi penyimpanan yang canggih, dan operasi yang andal.

Indonesia memiliki berbagai macam sumber energi yang tersebar di pulau-pulau di Indonesia. Berikut merupakan data dari yang bersumber dari PSE UGM 2020 tentang potensi energi terbarukan yang ada di Indonesia.

Sumber: PSE UGM, 2020

Potensi pembangunan energi terbarukan sangat besar. Hal ini perlu didukung oleh strategi untuk mempercepat pembangunannya di Indonesia. Selain dari adanya potensi sumber energi yang melimpah, seperti surya, angin, dan gelombang, Indonesia juga memiliki pembangkit listrik tenaga Co-firing yang tersebar pada gambar di bawah ini.

Sumber: PSE UGM, 2020

Berdasarkan gambar persebaran PLTU Co-firing di atas, terdapat 52 Pembangkit Listrik Tenaga Co-firing di 26 provinsi, 13 pembangkit listrik berlokasi di Sumatera, 10 di Kalimantan, 16 di Jawa, 6 di Sulawesi, 2 di Maluku, 4 di Nusa Tenggara dan 1 di Papua. Ke-52 pembangkit listrik tersebut berlokasi di area potensial biomassa seperti hutan produksi, perkebunan kelapa sawit, dan limbah kota (Radius ± 5 – 100 km) Permintaan biomassa kayu dengan persentase 5% pada 52 Pembangkit Listrik Tenaga Co-firing adalah 5.060,654 Ton/Tahun.

Dengan membaca potensi energi di Indonesia, strategi percepatan pembangunan EBTKE (Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi) di Indonesia dapat diterapkan. Mayoritas Pembangkit Listrik Tenaga Diesel terdapat di sekitar area yang memiliki potensi bioenergi. Hal ini membuka peluang konversi ke Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa/Biogas secara bertahap.

Konversi Pembangkit Diesel akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Apabila pertumbuhan ekonomi daerah meningkat, pendapatan perkapita di masyarakat pedesaan pun juga akan meningkat. Keuntungan yang lainnya adalah dapat menyerap tenaga kerja di Industri dan BUMD.

Selain itu, masyarakat akan mendapat keamanan jaminan pasokan bahan baku untuk PLN. Apabila dapat dipraktikkan dengan baik, bauran energi dalam konsep ET juga dapat berjalan lebih baik.

Dukungan Regulasi untuk Pengembangan EBTKE di Indonesia

            Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan peran pemerintah, salah satunya dalam pembuatan kebijakan. Berikut merupakan penjabaran dan penilaian kebijakan-kebijakan terkait dengan pengembangan energi di Indonesia.

Dalam Perpres RPJMN disebutkan mengenai strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan antar Kementerian/Lembaga, regional dan lintas wilayah, serta kerangka ekonomi makro yang memuat gambaran perekonomian secara komprehensif.

Permen ESDM No. 49 Tahun 2018  – 16 Tahun 2019 perlu diubah di beberapa hal. Persyaratan teknis dan administrasi minimal pemasangan Panel Surya Atap perlu diubah dan diatur secara tegas agar konsumen dapat mengetahui dengan jelas kewajibannya. Selain itu, mekanisme penghitungan ekspor dan impor energi listrik dari sistem Panel Surya Atap berpotensi merugikan konsumen, terutama jika terjadi selisih akumulasi residu.

Berdasarkan Permen ESDM No. 47 Tahun 2018, standard keuntungan usaha ditetapkan oleh Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya. Dengan demikian, perumusan pasal perlu dikelola dengan baik agar tidak merugikan pemegang IUPTL.

UU RPJPN memiliki arti penting. Di dalamnya terkandung RPJPN yang merupakan perencanaan pembangunan nasional untuk jangka waktu 20 tahun dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2025, tujuan pembentukan negara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Perpres RUEN juga memiliki peran penting dalam menentukan tata kelola energi nasional, termasuk sektor ketenagalistrikan.

PP KEN memiliki porsi regulasi untuk Energi Baru yang jauh lebih kecil. Di dalamnya juga mengamanatkan optimalisasi pemanfaatan EBT untuk dilakukan selama perekonomian terpenuhi.

Kendala Pengembangan EBTKE dari Aspek Hukum

Berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang sudah ada, dalam pelaksanaannya terdapat kendala bagi pengembangan EBTKE. Kemauan politik pemerintah untuk mempercepat pembangunan EBT masih rendah, roadmap Pengembangan Energi Nasional belum tersedia, penetapan harga beli listrik pembangkit energi terbarukan belum terjangkau sehingga tidak menarik minat konsumen, kebijakan topdown untuk pengembangan EBT belum diterapkan.

Berdasarkan pemeetaan terkait kebijakan yang ada, dapat diketahui tren naik turunnya kemauan politik pemerintah. Pengembangan EBTKE perlu diselaraskan dengan pengembangan energi fosil yang tertuang dalam satu roadmap nasional. Generalisasi harga dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 bertentangan dengan norma pengaturan harga dalam UU Energi dalam PP KEN. Hingga saat ini, belum ada satu pun provinsi di Indonesia yang memiliki RUED (Rencana Umum Energi Daerah).

Author