Anwar Muhammad Foundation – Total kawasan hutan Indonesia tercatat lebih dari 125 juta hektar. Sekitar 12,7 juta hektar akan menjadi target Pemerintah sebagai kawasan perhutanan sosial hingga 2030. Namun sayangnya, pada Oktober 2022 realisasi capaian ini baru mencapai 5 juta hektar, atau kurang dari 40% dari target. Padahal, tujuan pemerintah dengan skema perhutanan sosial terbilang cukup krusial, antara lain meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat lokal sambil membenahi isu lingkungan hidup, yaitu menekan laju deforestasi yang turut menjadi isu global.
Dengan skema hutan sosial maka akses pengelolaan hutan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat sekitarnya juga dapat lebih terbuka. Hutan sosial yang berada di dalam kawasan Hutan Negara ini terdiri dari beberapa bentuk yaitu Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan. Lalu apa yang menjadi penyebab belum optimalnya pencapaian dan pemanfaatan skema hutan sosial ini dan bagaimana kita dapat mendukung efektivitas solusinya?
Faktor Utama Permasalahan Hutan Sosial
Beberapa faktor utama permasalahan Hutan Sosial telah teridentifikasi dari berbagai sumber, yaitu minimnya akses pelayanan umum bagi masyarakat, keterbatasan infrastruktur, dampak perubahan iklim dan bencana, kendala mobilisasi sumber daya, kurangnya pendampingan, proses produksi yang belum didukung teknologi, manajemen kemitraan yang belum terbentuk, keterbatasan dukungan finansial, serta disintregasi birokrasi antar multi-sektor dan pemangku kepentingan.
Baca Juga: Kisah Abdurrahman bin ‘Auf: Kedermawanan yang Membawa Keberkahan
Tawaran Solusi dan Islamic Blended Finance
Dalam mengatasi permasalahan tersebut, beberapa solusi dapat diusulkan seperti upaya diversifikasi sumber penghasilan masyarakat ke hasil hutan non-kayu, peningkatan kapasitas SDM melalui pendampingan, simplifikasi birokrasi dan mekanisme sertifikasi, kolaborasi antar pemangku kepentingan serta pemetaan dan pendataan kawasan perhutanan sosial.
Efektifitas solusi bagi perhutanan sosial tentunya juga perlu didukung dengan adanya dukungan pembiayaan yang berkelanjutan. Sejalan dengan pemecahan isu global terkait lingkungan dan sosial serta dalam rangka pencapaian Sustainability Development Goals (SDGs), Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmennya untuk meningkatkan upaya pembiayaan inovatif, salah satunya melalui pembiayaan campuran (blended finance). Di sisi lain, sebagai negara mayoritas beragama Islam, Indonesia juga memiliki dana sosial Islam yang berpotensi tinggi sebagai pembiayaan alternatif, yaitu wakaf.
Sebagai salah satu instrumen keuangan sosial Islam, wakaf telah terbukti menjadi solusi bagi berbagai permasalahan umat, seperti pengentasan kemiskinan dan kesenjangan sosial, pembiayaan usaha mikro, hingga pemenuhan berbagai kebutuhan publik. Dengan kontribusi yang tinggi pada ekonomi maka wakaf sudah seharusnya lebih berperan dalam berbagai kegiatan ekonomi produktif yang mendukung pembangunan yang berkelanjutan, salah satunya skema perhutanan sosial. Konsep wakaf yang dikombinasikan dengan hutan sosial, atau dapat dipopulerkan dengan sebutan “wakaf hutan” diharapkan mampu mewujudkan efektivitas berbagai solusi yang telah digaungkan sekaligus mendukung program pemerintah.
Dukungan Berbagai Pihak dan Peran Inovasi Teknologi
Konsep wakaf hutan sejalan dengan inisiasi dari Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang bekerja sama dengan UNDP Indonesia melalui penerbitan laporan Green Waqf Framework, yang menjelaskan secara detil tahapan pelaksanaan wakaf hijau. Dari tataran praktikal, beberapa lembaga seperti Bogor Waqf Forest Foundation juga telah membuktikan bahwa pengelolaan hutan yang dibangun di atas tanah wakaf dapat mengurangi dampak bencana alam dengan menyediakan dukungan bagi lingkungan, sosial dan ekonomi.
Baca Juga: Blockchain dengan Prinsip-Prinsip Syariah
Kerjasama antara praktisi dengan dunia akademisi akan sangat signifikan mendukung terwujudnya sustainable livelihood melalui terjaganya keanekaragaman hayati, sambil memberikan dampak peningkatan kesejahteraan masyarakat. Seperti yang telah dirintis oleh Anwar Muhammad Foundation (AMF) bersama sekolah ilmu teknologi hayati (SITH) ITB selama dua tahun terakhir mengelola kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) Gunung Geulis. Berdasarkan pendapat dari pakar manajemen risiko dan keuangan SBM-ITB, ANI (Asosiasi Nazir Indonesia), PADI, dan IAP2 (International Association for Public Participation), program wakaf hutan selain meningkatkan pemberdayaan partisipasi dan kesejahteraan masyarakat sekitar juga diyakini dapat menurunkan risiko sosial.
Pengelolaan wakaf hutan disertai pemanfaatan teknologi terkini, yaitu salah satunya dengan sistem block chain cukup kritikal sebagai agenda ke depan. Dukungan inovasi teknologi akan semakin memperkuat pemecahan berbagai masalah dari skema perhutanan sosial karena dapat menghadirkan tata kelola yang kolaboratif, partisipatif, terintegrasi dan transparan di antara semua aktor yang terlibat di dalam pengelolaan wakaf hutan.
Melalui wakaf, dukungan teknologi, dan orkestra kolaborasi yang tepat oleh semua pihak yang berkepentingan, darurat pembiayaan Perhutanan Sosial niscaya dapat terurai. InsyaaAllah.