Anwar Muhammad Foundation – Sebelum covid-19 datang, kemacetan adalah pemandangan biasa, terutama bagi masyarakat kota besar. Di wilayah tertentu, bahkan, di pagi buta, kendaraan sudah ramai berlalu lalang di jalan. Namun, semua itu berubah sejak pandemi covid-19 menyerang. Pembatasan mobilitas diterapkan. Masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Jalanan tidak seramai biasanya.
Transportasi Publik Sepi: Kenikmatan yang Merepotkan
(Sumber foto : mediaindonesia)
Selama pandemi covid-19, transportasi publik terasa lebih lengang. Sebagian masyarakat dipekerjakan di rumah masing-masing, mengurangi penumpang kendaraan umum. Tidak hanya itu, kebijakan social distancing yang mengharuskan masyarakat untuk berjarak 1,5 m diterapkan. Jumlah penumpang yang naik transportasi umum pun berkurang.
Bagi penumpang, fenomena ini merupakan hal yang ditunggu-tunggu. Betapa mereka dulu tersiksa berhimpitan bagai ikan pindang di dalam KRL di jam puncak berangkat dan pulang kerja. Betapa dulu sopir angkot ataupun bus mengiyakan semua penumpang yang ingin naik agar keuntungan kendaraan bisa didapatkan sebesar-besarnya dalam sekali jalan. Bernafas lega menanti tujuan keberangkatan adalah kenikmatan tersendiri bagi penumpang.
Sayangnya, bagi pengelola kendaraan umum, hal ini lain cerita. Kesadaran masyarakat akan kebersihan dan kesehatan yang tinggi juga berdampak pada penggunaan transportasi publik yang menurun. Terdapat suatu waktu dimana tercatat penumpang angkutan umum anjlok hingga 90%. Pengelola bus, angkot, atau perusahaan sewa kendaraan harus berjuang keras untuk bisa bertahan di tengah pandemi covid-19 yang tidak menentu.
Kendaraan Pribadi Diperkirakan Mencapai Puncak kejayaan Pasca Pandemi
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan kebersihan dan kesehatan merupakan hal yang baik. Namun di sisi lain, hal ini akan berdampak pada meningkatnya preferensi masyarakat bermobilisasi dengan kendaraan pribadi. Kendaraan milik sendiri dianggap lebih higienis. Pemantauan akan kebersihannya bisa dilakukan dengan mudah.
Masyarakat sudah terlanjur parno dengan terjadinya pandemi covid-19. Kesterilan kendaraan umum dipertanyakan. Untuk menjawab keraguan, transportasi publik pun dihindari. Hal ini banyak terjadi terutama pada masyarakat dengan tingkat perekonomian menengah ke atas. Mereka tidak terlalu bergantung pada kesediaan angkutan umum untuk bermobilisasi.
Udara Bersih Selama Pandemi Covid-19, Mengalahkan Berbagai Upaya Solusi Iklim Selama Ini
Berkurangnya mobilitas masyarakat selama pandemi mendorong suatu perubahan besar. Salah satunya dalam emisi gas rumah kaca. Sudah kita ketahui bersama bahwa berbagai upaya dilakukan untuk menurunkan gas karbon dioksida dan kawan-kawannya dari atmosfer Indonesia. Kebijakan-kebijakan yang tidak konsisten dan kurang berani kerap membuat geram warga. Namun ternyata, emisi gas rumah kaca menurun cukup drastis akibat pandemi.
Tercatat oleh CREA bahwa penurunan karbon dioksida mencapai 17% secara global. Hal ini didasari oleh kebijakan karantina masyarakat selama penyebaran covid-19 yang sedang marak. Dalam persentase tersebut, hampir 50% disebabkan oleh pembatasan mobilisasi yang mengarah pada berkurangnya penggunaan transportasi berbahan bakar fosil.
Baca Juga : Life Cycle Assessment: Kunci Pembangunan Berkelanjutan
Kualitas udara yang makin baik cukup membuat geger masyarakat Indonesia. Sudah lama rasanya masyarakat menghirup udara bersih, terutama di kota besar. fenomena ini setidaknya menjadi satu di antara beberapa hikmah yang dapat diambil dari terjadinya pandemi covid-19. Namun apakah kita hanya berpangku tangan pada pandemi untuk mendapat udara berkualitas?
Bike Booming Seharusnya Booming Seterusnya
(Sumber foto : Cycles Bicycle Family Outing)
Transportasi umum dianggap tidak menjadi pilihan. Kendaraan pribadi pun dipersusah untuk dapat bermobilisasi dengan diterapkannya berbagai kebijakan. Alhasil, mobilitas dengan bersepeda menjadi solusi bagi sebagian masyarakat. Sepeda merupakan alat transportasi yang mudah, fleksibel, dan secara general lebih murah dibandingkan mode transportasi lainnya. Terjadilah bike booming, momen dimana pesepeda banyak bermunculan, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan bersepeda.
Bersepeda juga menjadi salah satu pilihan masyarakat untuk meningkatkan daya tahan tubuh selama pandemi covid-19. Memanfaatkan jalanan yang lebih sepi, masyarakat bersepeda untuk menghilangkan kepenatan tinggal di rumah dalam waktu yang lama. Hal ini juga menjadi upaya mereka menjaga stamina tubuh. Banyak masyarakat yang menjadikan bersepeda sebagai bentuk olahraganya, terlebih bagi masyarakat yang biasanya pergi ke gym dan dilakukan pembatasan pada gym.
Tantangan Bagi Sustainable Mobility Indonesia
Dampak pandemi covid-19 merupakan sebuah tantangan bagi pengaturan mobilitas warga Indonesia. Bagaimana tidak, terdapat berbagai perspektif yang dapat dilihat dari satu fenomena ini. Bukanlah harapan kita bahwa pandemi covid-19 akan terus terjadi agar keuntungan dalam aspek mobilitas bisa dirasakan. Saat pandemi berakhir pun kita perlu bertanya pada diri sendiri, apakah kita siap menerima perilaku ketidakberlanjutan yang selama ini diterapkan.
Baca Juga : Membangun Peradaban dengan Konsep Ekonomi Sirkular
Pemerintah maupunataupun pengelola kendaraan umum harus menggaet kembali kepercayaan pelanggan. Inovasi yang memudahkan penumpang ataupun pihak pengelola harus diciptakan. Pemasaran yang menarik patut untuk dilakukan. Jangan sampai kendaraan pribadi, terutama yang berbahan bakar fosil, menang selepas pandemi usai. Emisi yang tinggi harus kita hindari dengan upaya sekuat-kuatnya.
Pihak swasta ataupun perusahaan patut andil dalam hal ini. Bagaimana pekerja diberikan akses yang mudah namun berkelanjutan menuju tempat kerjanya akan sangat baik jika terwujud. Perusahaan transportasi hijau yang berusaha untuk menggencarkan kendaraan listrik harus bersiap sedia untuk meluaskan pemasaran. Ketertarikan untuk menggunakan sepeda meskipun bukan di masa pandemi juga perlu dibangun.