Skip to content

Strategi Pembangunan Rendah Karbon

  • by

Ditulis oleh Tim AMF, RIB, dan IAP2 Indonesia

Berkali-kali disinggung, isu perubahan iklim menjadi masalah utama yang mendunia. Di Indonesia, masalah ini dihadapi secara sungguh-sungguh dengan dimasukkannya poin  dalam perencanaan pembangunan nasional.

Sebagai aksi prefentif atas krisis iklim, sebagaimana dituangkan dalam laporan Pembangunan Rendah Karbon alias PRK (2017), Kementerian PPN/Bappenas menyebut pemerintah Indonesia telah mencanangkan target untuk mengintegrasikan aksi iklim ke dalam rencana pembangunan nasional. Inisiatif PRK yang diluncurkan Bappenas bertujuan menciptakan pertumbuhan ekonomi Indonesia seraya meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta melestarikan dan memulihkan sumber daya alam.

Melihat masifnya dampak perubahan iklim seperti bencana dan kerusakan alam yang disebabkan oleh faktor-faktor hidrometeorologis (angin kencang, hujan lebat, dan gelombang tinggi) di berbagai tempat, PRK jadi mendesak untuk diterapkan. PRK menjadi langkah nyata Indonesia merespon isu perubahan iklim dengan mempertimbangkan keseimbangan pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan pengurangan emisi gas rumah kaca.

Ditetapkannya strategi PRK, serta target dan indikator pada masing-masing strategi dalam RPJMN 2020 – 2024 menjadi cerminan keseriusan dan konsistensi Pemerintah Indonesia dalam upaya penanganan perubahan iklim global. Peran Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah menjadi penting dalam upaya untuk menerjemahkan PRK ke dalam rencana kegiatan institusi baik di level nasional maupun daerah. Terdapat lima strategi utama dalam mewujudkan visi PRK, yakni sebagai berikut.

1. Pembangunan Energi Berkelanjutan

Indonesia memiliki potensi sumber energi terbarukan dalam jumlah besar. Beberapa diantaranya bisa segera diterapkan di tanah air, seperti: bioethanol sebagai pengganti bensin, biodiesel untuk pengganti solar, tenaga panas bumi, mikrohidro, tenaga surya, tenaga angin, bahkan sampah/limbah pun bisa digunakan untuk membangkitkan listrik. Hampir semua sumber energi tersebut sudah dicoba di tanah air.

Energi Terbarukan harus segera dikembangkan secara nasional bila tetap tergantungan energi fosil, ini akan menimbulkan setidaknya tiga ancaman serius, yakni:

  • Menipisnya cadangan minyak bumi yang diketahui (bila tanpa temuan sumur minyak baru)
  • Kenaikan/ketidakstabilan harga akibat laju permintaan yang lebih besar dari produksi minyak,
  • Polusi gas rumah kaca (terutama CO2) akibat pembakaran bahan bakar fosil.

Di sisi lain, energi dan cara menggunakannya harus efisien, berkelanjutan dan sebisa mungkin terbarukan. Dalam 20 tahun terakhir, beberapa negara telah melakukan langkah besar dalam mengurangi intensitas energi. Apabila semua teknologi efisiensi energi yang tersedia saat ini diterapkan, konsumsi energi secara signifikan bisa dipangkas menjadi sekitar sepertiga.

2. Pemulihan Lahan Berkelanjutan

Menerapkan pengelolaan lahan dan air berkelanjutan harus didukung dengan upaya pemulihan melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan secara intensif dengan melibatkan masyarakat.  Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan lahan dan air berkelanjutan telah menjadi keharusan. 

Keterlibatan masyarakat secara aktif dilakukan melalui berbagai model pengelolaan hutan dan lahan (hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan desa, dan hutan adat). Upaya ini tentunya dapat bermanfaat dalam meningkatkan kualitas lingkungan, sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan. Selain itu, manfaat jangka panjang yang diharapkan dari pengelolaan lahan dan air berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat adalah diperolehnya kuantitas dan kualitas air secara optimal untuk mendukung kebutuhan hidup sehari-hari.

3. Penanganan Limbah

 Sektor limbah merupakan salah satu sumber emisi gas rumah kaca yang penting. Limbah padat dan cair merupakan sumber signifikan CH4 yang penambahannya di atmosfer berkontribusi terhadap perubahan iklim. Sehingga aksi nasional dalam mitigasi perubahan iklim di sektor limbah sangat penting.

Sektor limbah menyebutkan skenario potensi mitigasi dari sektor sampah dibuat berdasarkan mandat UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Sesuai dengan isi UU No. 18/2008 tersebut, usaha-usaha untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor sampah adalah memulihkan LFG (landfill gas) baik dari lahan open dumping (dibuang begitu saja di TPA) yang telah dikonversi menjadi sanitary landfill (sistem pengelolaan sampah dengan cara membuang sampah di lokasi cekung), maupun dari pembuatan sanitary landfill yang baru. Usaha menutup open dumping dan membangun sanitary landfill dengan LFG teknologi recovery sejalan dengan isi UU No.18/2008, yaitu seluruh lahan open dumping harus ditutup pada tahun 2015.

Usaha lainnya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca adalah usaha untuk mereduksi sampah baik di sumber sampah (rumah tangga), TPS (Tempat Penampungan Sementara), maupun TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) dengan teknik 3R (reducereuserecycle). Pemprosesan akhir sampah di perkotaan (urban) dan pedesaan (rural) di Indonesia berbeda. Di perkotaan menitikberatkan pada teknologi landfill (open dumpingcontrolled landfillsanitary landfill), sedangkan di pedesaan teknologi pengomposan. Sedangkan untuk 3R dapat diterapkan baik di perkotaan maupun pedesaan.

4. Pengembangan Industri Hijau

Konsep industri hijau tidak hanya terkait dengan pembangunan industri yang ramah lingkungan tetapi juga berhubungan dengan penerapan sistem industri yang terintegrasi, holistik dan efisien. Pemikiran tentang konsep industri hijau juga memunculkan berbagai kajian, termasuk dalam manufaktur sehingga dikenal istilah sistem manufaktur yang berkelanjutan atau sustainable manufacturing.

Di dalam Konsep Hijau secara luas, infrastruktur, desain, dan sistem dibuat sedekat mungkin dengan karakteristik ekosistem, di mana energi dimanfaatkan secara efisien dan materi, alat atau bahan baku dimanfaatkan dari satu entitas ke entitas yang lain dalam sistem siklus yang terbarukan (renewable inputs) serta ikut dalam menyejahterakan masyarakat.

Berikut adalah prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam penerapan Konsep Hijau secara luas: (1) Efisiensi energi dan energi terbarukan, (2) Efisiensi pemanfaatan sumber daya, (3) Keterkaitan sistem alam – manusia, (4) Green Industrial Park.

5. Inventarisasi & Rehabilitasi Ekosistem Pesisir dan Kelautan

Dalam rangka membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan Iklim bidang kelautan dan perikanan dilakukan melalui perlindungan plasma nuftah, pencegahan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup, penanggulangan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang dilaksanakan dengan, penanganan pencemaran di pesisir dan laut, penanganan sampah domestik, industri, dan plastik, dan penanggulangan sampah spesifik dan limbah B3.

Untuk proyek prioritas nasional peningkatan ketahanan iklim sektor kelautan dan pesisir, di antaranya adalah data dan/atau informasi pemetaan sumber daya kawasan pesisir, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang meningkat ketangguhannya terhadap bencana dan dampak perubahan iklim, dan rehabilitasi hutan mangrove/pantai.

Untuk kegiatan prioritas nasional rendah karbon pesisir dan laut, proyek prioritas nasionalnya adalah inventarisasi dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan kelautan, kawasan di pesisir dan pulau-pulau kecil yang direhabilitasi dan rehabilitasi hutan mangrove/pantai.            

Komitmen strategi Pembangunan Rendah Karbon memerlukan koordinasi antarkementerian/lembaga secara sistematis, terintegrasi, dan menyeluruh yang hingga saat ini masih menjadi tantangan bersama. Di sini peran presiden sebagai nahkoda untuk memastikan kapal berjalan sesuai peta sangat dibutuhkan. Selama ini hambatan koordinasi antar kementerian/lembaga hanya diatasi dengan kehadian MoU sebagai instrumen atau solusi. Padahal pada tingkat nasional dibutuhkan peraturan dengan hukum yang lebih kuat untuk memberikan dasar yang jelas bagi penetapan, implementasi, dan pengukuran kebijakan dan/atau intrumen lain dalam isu penanganan perubahan iklim.

Author