Skip to content

Nilai Ekonomi Karbon: Seberapa Besar Nilai Karbon Indonesia?

Anwar Muhammad Foundation – Dalam jual beli karbon, pihak yang mengambil andil paling besar adalah pemerintah. Bagaimana pemerintah penting memegang kontribusi utama dalam pasar karbon global sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi. Pada perdagangan karbon dalam negeri yang dilakukan antar perusahaan atau organisasi pun, pemerintah juga harus turun tangan di dalamnya.

Dalam webinar Forest Share 5 yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Rekayasa Kehutanan (HMH) Selva ITB, Badan Kebijakan Fiskal hadir sebagai narasumber. Diwakili oleh Dr. Tri Joko Haryanto, pemaparan yang diberikan adalah tentang tata laksana penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon di Indonesia. Beliau menjelaskan dengan gamblang apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengupayakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam hal valuasi karbon.

Indonesia dalam Memberi Harga pada Karbon

Di Indonesia, valuasi emisi karbon mulai diusahakan. Nilai yang diberikan terhadap setiap unit emisi karbon disebut dengan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). NEK dianggap penting untuk diadakan karena dapat mendorong investasi hijau di Indonesia. Selain itu, NEK juga dapat mengatasi celah pembiayaan perubahan iklim yang selama ini terjadi. Dalam jangka panjang, NEK dapat menjadi usaha perwujudan pertumbuhan berkelanjutan.

Demi menunjukkan keseriusannya dalam penerapan perdagangan karbon, pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon. Disusun pula UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang di dalamnya memuat pengaturan tentang pajak karbon. Regulasi-regulasi ini menjadi landasan kebijakan NEK yang lebih kuat sehingga penerapannya lebih terarah.

Mengenal Instrumen NEK Indonesia

Dr. Tri Joko Haryanto memperkenalkan apa saja yang merupakan instrumen NEK di Indonesia. Instrumen NEK sejatinya merupakan mekanisme penyelenggaraan NEK. Pelaku dari mekanisme-mekanisme ini mencakup pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha, serta masyarakat. Dana yang didapatkan melalui NEK akan dimanfaatkan untuk mitigasi serta adaptasi perubahan iklim di Indonesia.

Instrumen pertama yaitu perdagangan karbon. Perdagangan karbon dilakukan apabila suatu pihak menghasilkan emisi karbon lebih dari batas yang telah ditentukan. Pendapatan dari perdagangan karbon akan menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak transaksi perdagangan maupun sanksi administrasi. Perdagangan karbon dapat dilakukan secara internasional maupun domestik.

Instrumen NEK yang kedua yaitu Pembayaran Berbasis Kinerja (Result-Based Payment). Instrumen ini merupakan insentif yang diperoleh dari hasil capaian pengurangan emisi karbon yang terverifikasi dan manfaat selain karbon yang tervalidasi. Pembayaran Berbasis Kinerja dapat dilakukan dengan lingkup internasional, nasional, maupun provinsi. Tidak terjadi pemindahan kepemilikan karbon dalam instrumen ini.

Instrumen NEK selanjutnya terdapat Pungutan Atas Karbon. Pungutan atas karbon dikenakan pada sesuatu yang berpotensi atau mengandung karbon sehingga berdampak negatif bagi lingkungan. Pungutan Atas Karbon dilakukan dalam bentuk pungutan di bidang perpajakan, baik dalam skala daerah maupun pusat.

Baca Juga: PLTS Atap: Meningkatkan Pemanfaatan Potensi Energi Surya

Trial and Error Perdagangan Karbon Domestik

(Sumber foto:Materi Dr. Tri Joko Haryanto dalam dalam Webinar Forest Share 5 HMH Selva ITB)

Pada tahun 2021, Indonesia mencoba mengimplementasikan perdagangan domestik di bawah naungan Kementerian ESDM dan Ditjen Ketenagalistrikan. Uji coba ini dilakukan guna mempersiapkan partisipasi Indonesia dalam ets (Emission Trading System) pada tahun 2024. Pelaksanaan uji coba diselenggarakan dalam bentuk Penghargaan Subroto Bidang Efisiensi Energi.

Uji coba ini diterapkan pada 32 PLTU batu bara. Hal ini dilakukan karena PLTU batubara menyumbang emisi karbon yang besar di Indonesia. Dari uji coba tersebut dihasilkan beberapa hal. terjadi transaksi transfer karbon sejumlah 42.455,21 ton CO2 dengan skema perdagangan. Selain itu, kredit karbon bersertifikat internasional juga dilakukan sebanyak 4.500 ton CO2. Dihasilkan pula kredit karbon dari penurunan emisi sebesar 21.131,8 ton CO2.

Perdagangan karbon domestik, terutama antar PLTU berbahan bakar fosil, memang terlihat menguntungkan dan mengurangi emisi. Namun, transisi energi menjadi energi baru terbarukan akan lebih menjanjikan hasil. Namun, perdagangan karbon ini merupakan suatu batu loncatan bagi Indonesia untuk menggunakan upaya lebih efektif dalam mengurangi emisi karbon nasional.

Baca Juga: Situasi dan Tantangan Perjalanan ESG di Indonesia

Menuju Perdagangan Karbon yang Berkelanjutan

Berbagai regulasi yang dihasilkan oleh pemerintah merupakan upaya mendasar yang dapat menyeragamkan sistem valuasi karbon di Indonesia. Kolaborasi antar pihak tetap dibutuhkan untuk dapat menghasilkan peraturan turunan serta roadmap NEK lebih rinci di masa yang akan datang. Persiapan lain berupa kesiapan sektor, sarpras, kondisi perekonomian negara, serta target yang jelas juga patut dipertimbangkan dalam menyelenggarakan sistem NEK.

 

Author