Tidak asing bagi telinga bila mendengar, “Indonesia adalah paru-paru dunia”. Pada tahun 2013, berdasarkan data Forest Watch Indonesia (FWI), Indonesia berada di peringkat ketiga hutan terluas setelah Brazil dan Kongo. Sekitar 60% dari luas daratan Indonesia masih berupa tutupan hutan tropis dan hutan hujan yang sebagian besar tersebar di Kalimantan dan Papua.
Hutan Indonesia berbeda dengan tipe-tipe hutan di daerah beriklim sedang dan dingin. Ekosistem hutan tropis mempunyai karakteristik yang sangat spesifik, di antaranya dipengaruhi oleh faktor-faktor klimatis seperti curah hujan yang relatif tinggi dengan kisaran antara 2000 mm – 3000 mm/th, fluktuasi suhu yang cukup rendah, kelembaban udara yang tinggi, tegakan hutannya mempunyai tajuk berlapis (multi strata), keanekaragaman jenis flora dan faunanya yang sangat tinggi, dan hutan yang selalu hijau atau evergreen.
Selain itu, keragaman tipe ekosistem hutan di Indonesia dipengaruhi faktor-faktor edafis, seperti hutan rawa, kerangas hutan bakau (mangrove) dan hutan gambut. Setiap tipe hutan diperkirakan mempunyai simpanan karbon yang bervariasi. Demikian pula besaran emisi dan serapan Gas Rumah Kaca (GRK) per satuan aktivitas di setiap tipe hutan akan bervariasi. Hutan tropis yang terbentang di Indonesia memberikan kontribusi yang sangat positif pada pengurangan emisi yang menyebabkan perubahan iklim. Peranannya yang demikian penting dan strategis menyebabkan sebagian besar masyarakat dunia memberikan perhatian yang sangat serius terhadap kelestariannya.
Setidaknya sejak tahun 2000, laju deforestasi hutan Indonesia terus meningkat. Menurut Forest Watch Indonesia, pada rentang tahun 2000-2009, Indonesia kehilangan hutan seluas 1,4 juta ha/tahun dan sempat menurun menjadi 1,1 juta/ha tahun pada periode 2009-2013. Deforestasi pun kembali meningkat pada periode 2013-2017 menjadi 1,4 juta ha/tahun. Periode selanjutnya 2018-2019, secara netto deforestasi Indonesia terjadi kenaikan sebesar 5,2%, tetapi deforestasi bruto terjadi penurunan sebesar 5,6%.
Jika ditelisik, pengolahan kayu hutan memang pernah menjadi sumber utama pemulihan ekonomi Indonesia sekitar tahun 1970-an dan menggerakkan ekspor pada 1980-1990-an. Perlu dicatat, komodifikasi kayu tersebut tidak mengindahkan kelestarian hutan. Dengan kata lain, laju deforestasi tinggi disebabkan oleh kebijakan pembangunan ekonomi yang tidak memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Seperti halnya hutan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, hutan juga adalah jawaban untuk meningkatkan ketahanan bumi terhadap perubahan iklim. Salah satu upaya mengurangi laju perubahan iklim adalah melalui pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi. Ini mencakup konservasi hutan termasuk lahan gambut, rehabilitasi, pengayaan tanaman dan pengelolaan hutan lestari dalam rangka meningkatkan simpanan karbon.
Usaha menurunkan emisi dan meningkatan serapan karbon dapat dinilai dengan sistem Monitoring, Report, dan Verification (MRV) setelah melakukan berbagai upaya penghijauan hutan. Lebih jauh lagi, sistem MRV ini juga berguna untuk mengidentifikasi faktor penyebab terjadinya deforestasi dan degradasi hutan baik dari aspek sosial, ekonomi maupun politik. Pengembangan sistem MRV Kehutanan telah disesuaikan dengan bentang alam tipe dan sub-tipe ekosistem hutan tropis yang beragam.
Istilah MRV pertama kali muncul dalam konteks kebijakan mitigasi perubahan iklim sebagai bagian dari Bali Action Plan, yang menyerukan “komitmen atau aksi mitigasi yang dapat diukur, dapat dilaporkan, dan dapat diverifikasi secara nasional” (UNFCCC, 2007). Bappenas kemudian meluncurkan Aplikasi Perencanaan dan Pemantauan Aksi Pembangunan Rendah Karbon Indonesia (AKSARA) sebagai perwujudan transformasi Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan (PEP) Online. Sistem MRV dapat diterapkan untuk beberapa skala antara lain nasional, sub nasional (provinsi, kabupaten) dan proyek. Hasilnya dapat dilaporkan kepada lembaga tertentu dan juga diverifikasi oleh lembaga tertentu yang berhubungan dengan karbon.
Dengan adanya MRV, diharapkan dapat meningkatkan kredibilitas data hasil pelaporan penurunan emisi karbon di setiap sektor baik di tingkat daerah maupun nasional. Lebih jauh lagi membidik terwujudnya sistem satu data nasional yang menjadi wadah utama seluruh sektor terkait dengan Pembangunan Rendah Karbon (PRK). Informasi yang terhimpun kemudian dipergunakan sebagai alat diagnosis mengembangkan kebijakan menurunkan emisi Gas Rumah Kaca secara berkelanjutan. Dengan mengingat dua peran vital hutan, yakni menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga ketahanan bumi, maka Pembangunan Rendah Karbon (PRK) menjadi hal yang mutlak dilakukan oleh seluruh sektor dan lapisan masyarakat. (Tim AMF (Anwar Muhammad Foundation) dan RIB (Rumah Indonesia Berkelanjutan))