Skip to content

Konstruksi Green Engagement untuk Sustainabilitiy

Anwar Muhammad Foundation – Perubahan sosial di tingkat global tidak dapat dibendung. Perubahan ini disebabkan oleh adanya kesadaran baru tentang bagaimana planet bumi ini dikelola pada masa yang akan datang. Kesadaran baru ini tidak mucul tiba-tiba. Ada proses panjang berbasis pada bukti-bukti empiris yang melahirkan kesadaran baru bahwa perlu ada perubahan pendekatan, paradigma, dan aksi dalam mengelola planet bumi ini.

Kesadaran baru tersebut adalah tentang perlunya keberlanjutan (sustainabilitiy) dalam mengelola planet bumi. Mengapa keberlanjutan ini diperlukan? Karena planet bumi menyediakan sumberdaya yang terbatas dan akan segera habis jika dieksploitasi untuk kebutuhan manusia secara berlebihan.

Bukan itu saja, pendekatan eksploitatif alias business as usual tidak saja menyebabkan sumber daya akan segera habis dan mengancam kehidupan kita sebagai manusia, melainkan juga akan membawa dampak negatif secara sosial, ekonomi, dan ekologi.

Secara sosial, pendekatan eksploitatif dan business as usual telah melahirkan kesenjangan sosial, kemiskinan akut dan eksklusi sosial kepada kelompok-kelompok masyarakat marjinal di seluruh dunia. Bukan hanya itu, kontestasi dalam perebutan sumber daya yang terbatas telah melahirkan berbagai perang dan konflik sosial di berbagai belahan dunia yang menyebabkan kematian. Jika pendekatan ini berlanjutan, kualitas kehidupan sosial (kesehatan, pendidikan, kebahagiaan, dan lain-lain) dari sebagian penduduk dunia akan menurun drastis.

Secara ekonomi, pendekatan business as usual berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi secara signifikan untuk jangka panjang karena keterbatasan sumber daya dalam menopang pertumbuhan. Pendekatan ini juga melahirkan jurang kesenjangan dalam penguasaan ekonomi antara Utara dan Selatan yang sangat lebar. Kesenjangan juga terjadi dalam penguasaan kekayaan ekonomi dunia yang ditunjukkan dengan piramida kesenjangan yang semakin melebar dan membuat kekayaan ekonomi dikuasai oleh segelintir orang saja.

Secara ekologis, pendekatan business as usual telah melahirkan sebuah krisis global, yakni dinamakan krisis iklim. Perubahan iklim merupakan fenomena nyata di depan mata kita sebagai dampak dari praktik ekonomi, produksi, dan konsumsi kita yang boros karbon. Karena itu, sejak beberapa dekade terakhir, dunia internasional sudah bersepakat untuk menjaga pertambahan suhu global di bawah 2 derajat celsius.

Indonesia merupakan negara yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Berbagai bencana seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan, perubahan pola tanam dan gagal panen, dan sebagainya merupakan sebagian dari bencana sebagai dampak dari perubahan iklim ini. Karena itu, sebagai dukungan untuk keberlanjutan, Indonesia sudah membuat komitmen untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29% dengan dukungan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.

Di tingkat global, negara-negara maju sudah mengambil langkah yang lebih radikal. Negara-negara Eropa misalnya, sudah berkomitmen untuk mencapai netral karbon pada tahun 2050. Jepang juga membuat kebijakan karbon netral pada tahun 2050. Sementara itu, China menetapkan tahun 2060 untuk mencapai karbon netral ini. Upaya menuju karbon netral tentu tidak mudah. Dibutuhkan transformasi ekonomi, sosial, dan ekologi untuk mendukung kebijakan radikal ini.

Transformasi Menuju Sustainability

Karena merupakan sebuah upaya besar, transformasi menuju sustainabilitiy merupakan sebuah pekerjaan bersama semua pihak di tingkat global. Transformasi sustainabilitiy ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan korporasi, melainkan masyarakat sipil termasuk lembaga internasional, LSM, universitas, kaum intelektual, aktivis, tokoh masyarakat, dan semua pihak, baik di tingkat akar rumput maupun tingkat global.

Setidaknya, terdapat beberapa level transformasi menuju sustainabilitiy yang harus dilakukan oleh para pihak, yakni:

Pertama, transformasi kebijakan publik. Transformasi di tingkat kebijakan publik ini merupakan proses yang cukup rumit karena melibatkan berbagai kepentingan. Kekuatan status quo pasti akan berupaya untuk mempertahankan pendekatan lama karena menguntungkan mereka. Dalam kondisi ini, semua komponen masyarakat pro-sustainabilitiy harus memberi dukungan kepada pemerintah untuk melahirkan kebijakan-kebijakan publik yang mendukung transformasi menuju keberlanjutan ini.  

Kedua, transformasi pengetahuan. Pengetahuan tentang keberlanjutan dan berbagai variannya belum berkembang dengan baik dibandingkan dengan pengetahuan lama yang pro status quo. Di level ini, peran perguruan tinggi, lembaga penelitian, LSM, dan sebagainya, menjadi sangat penting untuk bisa memproduksi pengetahuan yang akan menjadi bukti (evidence) tentang perlunya transformasi menuju keberlanjutan.

Baca Juga: Pendidikan Lingkungan untuk Masyarakat Berkelanjutan

Ketiga, transformasi teknologi. Transformasi menuju teknologi yang ramah lingkungan dan pro sustainabilitiy sudah mulai berkembang dengan baik. Namun, teknologi baru ini memang cenderung lebih mahal dibandingkan dengan teknologi yang digunakan untuk berbagai industri yang boros energi dan boros karbon. Transformasi teknologi menuju sustainabilitiy ini tidak hanya menciptakan berbagai teknologi yang ramah lingkungan untuk berbagai sektor industri, melainkan juga efisien penggunaan energi dan adaptable dengan energi ramah lingkungan. Transformasi teknologi ini juga membutuhkan dukungan kebijakan pemerintah yang kuat, baik dalam bentuk regulasi maupun insentif-insentif yang memudahkan korporasi melakukan transformasi menuju keberlanjutan.

Ketiga, transformasi kesadaran publik. Ini merupakan sebuah proses transformasi yang membutuhkan upaya besar namun murah. Meningkatkan kesadaran publik tentang perlunya transformasi menuju sustainabilitiy bisa dilakukan dengan pendekatan struktural, yakni melalui kebijakan pemerintah dan transformasi teknologi. Tersedianya teknologi ramah lingkungan yang akan memudahkan publik dalam menjalankan berbagai aktivitas ramah lingkungan tentu akan disambut baik oleh masyarakat. Di sisi lain, kesadaran ini juga bisa diperluat dengan memanfaatkan berbagai saluran informasi seperti media sosial yang sudah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat dewasa ini.

Namun demikian, karena transformasi menuju keberlanjutan ini masih bersifat elitis dan isunya hanya dikuasai oleh sebagian kecil masyarakat, maka upaya memperkuat kesadaran masyarakat harus dilakukan secara lebih terencana oleh otoritas pemerintah dan kaum intelektual. Jika hal ini tidak dilakukan, maka masyarakat akan disusupi oleh berbagai informasi salah atau hoaks tentang transformasi menuju keberlanjutan ini.

Konstruksi Green Engagement

Menyadari bahwa upaya transformasi menuju sustainabilitiy tidak bisa dilakukan oleh salah satu pihak saja, maka upaya bersama menjadi sebuah kebutuhan. Di titik ini, green engagement atau pelibatan hijau menjadi sebuah kebutuhan. Pelibatan hijau ini merupakan turunan dari konsep partisipasi publik untuk isu sustainabilitiy dan berbagai variannya, seperti pembangunan rendah karbon atau low carbon development, green economy, green production and consumption, pembangunan berkelanjutan, dan berbagai istilah lain yang mengacu pada paradigma sustainabilitiy ini.

Konstruksi pelibatan hijau ini diawali oleh basis nilai yang harus menjadi kesepakatan bersama sehingga semua pihak merasa berkepentingan secara langsung karena mempengaruhi kehidupan mereka secara global. Beberapa basis nilai penting untuk green engagement ini adalah sebagai berikut:

  1. Pelibatan hijau merupakan hak setiap orang karena tindakan seseorang atau sekelompok orang akan berdampak pada kehidupan orang lain di seluruh dunia.
  2. Pelibatan hijau mensyaratkan kesetaraan antar pihak, tanpa memandang perbedaan apapun berbasis apapun.
  3. Pelibatan hijau bersifat inklusif, dimana tidak boleh seorangpun dieksklusikan dari proses partisipasi dalam rangka memperkuat transformasi menuju keberlanjutan.
  4. Pelibatan hijau harus transparan, dimana proses pelibatan harus dilakukan secara terbuka dan disetujui oleh semua pihak.
  5. Pelibatan hijau harus akuntabel, dimana semua pihak harus dapat mempertanggungjawabkan semua proses dan hasil dari pelibatan hijau ini.

Lima nilai dasar di atas bisa disingkat dalam satu kalimat, bahwa pelibatan hijau (green engagement) merupakan hak setiap orang secara setara dan inklusif, dimana proses pelibatan hijau ini harus dilakukan dengan transparan dan akuntabel.

Baca Juga: Harga BBM Naik, Saatnya Beralih ke Mobil Listrik

Di tingkat proses, pelibatan hijau ini menggunakan spektrum IAP2 (International Association for Public Participation) untuk memastikan berbagai tingkatan pelibatan publik dalam proses transformasi menuju keberlanjutan ini. Spektrum IAP2 mempunyai lima tingkatan pelibatan/partisipasi, seperti terlihat dalam gambar di bawah ini.

Gambar 1. Spektrum partisipasi publik

 

Lima tingkatan pelibatan dalam spektrum partisipasi publik IAP2 dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Inform (menginformasikan), adalah menyediakan informasi yang obyektif dan seimbang, membantu memahami dan mencari alternatif solusi terhadap masalah.
  2. Consult (mengkonsultasikan), adalah mendapatkan masukan masyarakat terkait analisis, alternatif, dan atau sebuah keputusan.
  3. Involve (melibatkan), adalah bekerja secara langsung dengan masyarakat melalui sebuah proses untuk memastikan aspirasi masyarakat secara konsisten dipertimbangkan.
  4. Collaborate (membangun kolaborasi), adalah bermitra dengan masyarakat di setiap aspek pengambilan keputusan, termasuk mengidentifikasi dan membangun solusi alternatif.
  5. Empower (memberdayakan), adalah menempatkan pembuatan keputusan final di tangan masyarakat.

Spektrum IAP2 dalam partisipasi publik menjelaskan lima tingkatan partisipasi publik, yakni yang paling rendah disebut dengan inform (menginformasikan), sampai yang paling tinggi, yakni empower (memberdayakan). Semakin tinggi spektrum yang digunakan dalam proses partisipasi publik akan semakin bagus, menghasilkan kebijakan publik yang lebih baik dan lebih legitimit dalam masyarakat. Sebaliknya, semakin rendah tingkat partisipasi publik yang digunakan, maka kebijakan publik yang dihasilkan juga akan semakin kurang kualitas dan legitimasinya dalam masyarakat.

Baca Juga: Diskusi Hangat Koalisi Generasi Hijau

Di tingkat operasional, proses green engagement bisa dinilai dengan menggunakan spektrum IAP2 di atas, dan bisa juga dinilai pada level tertentu yang lebih ideal. Level yang ideal untuk proses pelibatan hijau adalah kolaborasi dengan tetap memegang teguh pada nilai-nilai dasar pelibatan hijau. Kolaborasi merupakan sebuah proses pelibatan atau partisipasi yang menempatkan para pihak sebagai mitra sejajar, membangun kerjasama dengan berbagi peran secara fungsional.

Karena itu, konstruksi pelibatan hijau di tingkat operasional ini juga menggunakan level kolaborasi. Ada beberapa aspek kolaborasi hijau (green collaboration) yang bisa dilakukan para pihak untuk memperkuat transformasi menuju keberlanjutan, yakni co-define, co-create, co-working, co-branding, co-financing, dan co-knowledge.

Gambar 2. Aspek-aspek dalam green engagement/collaboration

Untuk memperkuat transformasi menuju keberlanjutan, semua aspek dari kolaborasi hijau tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

  • Green co-define

Merupakan upaya kolaborasi hijau dalam rangka membangun definisi bersama tentang keberlanjutan. Membangun definisi bersama ini bukanlah ditujukan untuk menghilangkan definisi formal yang sudah ada secara akademis, melainkan sebuah upaya untuk memudahkan pemahaman terhadap definisi yang sudah ada. Umumnya, definisi akademis cenderung rumit dan tidak mudah dipahami oleh parapihak dan masyarakat umum.

Padahal, transformasi menuju keberlanjutan diharapkan bisa menjadi sebuah pendekatan dan kesadaran baru dalam pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia. Karena itu, definisi-definisi akademis tentang konsep pembangunan rendah karbon perlu diterjemahkan kembali secara bersama-sama sehingga mudah dipahami oleh semua pihak, khususnya masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Hal ini sekaligus sebagai upaya untuk membumikan isu keberlanjutan dari posisinya yang cenderung elitis dan mengawang-awang dan hanya dikuasai oleh pihak tertentu saja.

  • Green co-create

Kolaborasi hijau dalam transformasi menuju keberlanjutan membutuhkan adanya upaya menciptakan bersama (co-create). Apa yang diciptakan? Menciptakan bersama dalam transformasi menuju keberlanjutan ini bisa melahirkan kebijakan bersama, dimana sebanyak mungkin pihak dilibatkan dalam setiap perumusan kebijakan yang berkaitan dengan keberlanjutan. Green co-create ini juga bisa dalam bentuk menciptakan strategi bersama. Misalnya bagaimana menciptakan rencana stategis dalam pelaksanaan transformasi menuju keberlanjutan oleh pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Demikian juga berbagai upaya co-create lainnya dalam rangka memperkuat kebijakan dan pelaksanaan transformasi menuju keberlanjutan di Indonesia dengan berbagai pihak.

  • Green co-working

Transformasi menuju keberlanjutan membutuhkan kerjasama dan bekerja bersama-sama (green co-working). Bekerja bersama-sama bisa diwujudkan dalam mendorong lahirnya berbagai kebijakan daerah tentang pembangunan rendah karbon misalnya. Bekerja bersama-sama bisa juga dilakukan melalui upaya menciptakan berbagai pilot projects tentang transformasi menuju keberlanjutan yang melibatkan berbagai pihak. Green co-working ini bisa diterjemahkan secara lebih luas dalam rangka membangun kerja bersama antar pihak untuk memperkuat transformasi menuju keberlanjutan di Indonesia.

  • Green co-branding

Sebagai pendekatan baru, transformasi menuju keberlanjutan membutuhkan branding yang kuat di masyarakat, sehingga akan memudahkan penerimaan, pemahaman, dan pelaksanaan dari kebijakan ini di berbagai arena. Dalam konteks ini, kerja bersama untuk memperkuat branding (green co-branding) transformasi menuju keberlanjutan ini merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat diabaikan. Green co-branding ini akan mudah dilakukan jika co-define sudah selesai dirumuskan oleh para pihak yang berkepentingan. Dalam konteks ini, pemerintah sebagai leading dalam perumusan transformasi menuju keberlanjutan ini bisa memulai dengan cara membangun kolaborasi dalam branding ini.

  • Green co-investment/financing

Salah satu tantangan dalam transformasi menuju keberlanjutan adalah kebutuhan dana untuk mendukung kebijakan ini di berbagai sektor. Green co-investment merupakan sebuah upaya bagus dalam rangka memperluas transformasi investasi dari investasi yang tidak ramah lingkungan menuju investasi hijau (green investment). Sektor energi dan sektor AFOLU (pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lainnya) merupakan sektor-sektor penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia. Upaya green co-investment bisa dilakukan untuk mempercepat transisi menuju keberlanjutan. Untuk memperkuat green co-investment, keterlibatan akademisi dan peneliti, serta masyarakat sipil menjadi sebuah kebutuhan dalam rangka pengawasan dan memastikan bahwa transisi ini berjalan dengan baik.

  • Green co-knowledge

Yang paling penting juga adalah bagaimana memperkuat pengetahuan tentang keberlanjutan ini. Produksi pengetahuan tentang keberlanjutan, green economy, sustainable development, circular economy, dan berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan isu ini, sangat diperlukan untuk memperkuat pengetahuan masyarakat dan para pihak. Kolaborasi untuk memproduksi pengetahuan hijau bisa dilakukan dengan berbagai perguruan tinggi, lembaga penelitian, organisasi masyarakat sipil, dan berbagai lembaga internasional.

 Semakin banyak pengetahuan hijau diproduksi melalui penelitian, analisis, studi, penulisan buku, penerbitan berbagai artikel, dan sebagainya, akan semakin baik dalam mendukung penguatan transformasi menuju keberlanjutan di Indonesia. Tantangan dalam memperkuat green knowledge ini adalah bagaimana membongkar paradigma lama dalam ilmu ekonomi, politik, dan sosial yang masih pro pada pendekatan eksploitatif dan tidak ramah pada keberlanjutan. Tantangan ini akan bisa ditangani lebih mudah jika green co-knowledge diperkuat bersama-sama para pihak. 

Aspek-aspek dari kolaborasi hijau di atas bisa berdiri sendiri, namun akan lebih sempurna jika dilakukan secara integratif. Dalam hal ini, para pihak bisa fokus pada kekuatan masing-masing, sementara yang lain pada aspek lainnya. Namun, keselarasan kebijakan tetap diperlukan untuk memperkuat transformasi keberlanjutan sesuai dengan target yang ditetapkan pemerintah dan semua pihak.

Sebagai contoh, kebijakan pembangunan rendah karbon (PRK) sebagai salah satu kebijakan transformasi menuju keberlanjutan. Pemerintah Indonesia sudah menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca sebagai NDC (Nationally Determined Contribution) sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Untuk mendukung target NDC ini, maka semua aspek green collaboration tersebut dapat digunakan secara seiring maupun terpisah. Namun, semuanya ditujukan untuk mencapai target NDC yang sudah ditetapkan.

Author