Skip to content

Hitung Mundur Menuju Emisi Nol

  • by

Darurat iklim merupakan isu yang hingga saat ini masih dikawal oleh AMF dalam koalisi GENERASI HIJAU. Banyak fakta mengatakan bahwa bumi sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Salah satu pilar AMF adalah lingkungan yang berarti dalam setiap kegiatannya, AMF selalu berfokus pada perbaikan kualitas lingkungan.  

Pada KTT Iklim pekan lalu, Sekjen PBB Antonio Guterres menyerukan upaya global untuk mengatasi perubahan iklim. Ia memperingatkan seluruh pemimpin bahwa planet bumi sedang dalam ‘ambang kehancuran’. Para pengambil keputusan, termasuk Presiden Joko Widodo, mesti segera ambil sikap.

Indonesia tentu demikian diharapkan komitmennya. Apalagi bumi persada termasuk sepuluh besar penghasil emisi karbon.

Pemerintah sendiri telah berkomitmen soal itu sejak Perjanjian Paris 2016, lewat Nationally Determined Contribution (NDC). Dalam dokumen NDC itu disebut bahwa Indonesia berkomitmen ikut menekan kenaikan suhu di atas 1,5 derajat celsius, dengan cara menurunkan emisi sebesar 29% atas upaya sendiri (dan 41% dengan bantuan internasional) pada tahun 2030.

KTT Iklim pekan lalu juga mengetengahkan NDC sebagai jangkar kebijakan yang penting. Namun sayang, pada forum itu Presiden Jokowi gagal menunjukkan taring diplomatiknya dengan tidak berkomitmen menaikkan target NDC.

Padahal, sebagai perbandingan, Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga mengatakan akan menurunkan emisi 46 persen pada tahun 2030 dan mencari cara untuk melangkah lebih jauh. Target Jepang sebelumnya adalah 26 persen dari level 2013.

PM Inggris Boris Johnson menjanjikan pengurangan emisi hingga 78 persen pada 2035. Presiden Brasil Jair Bolsonaro, berjanji untuk mengakhiri deforestasi ilegal pada 2030 dan mencapai emisi nol pada 2050.

Patut disayangkan Indonesia gagal ikut berlomba menuju ke tempat yang lebih hijau, dan justru memilih jalan business as usual. Jika semisal banyak negara lain mengambil sikap yang sama, hal ini bisa membawa dampak kenaikan temperatur global mencapai 4 derajat Celcius.

Energi Baru Terbarukan (EBT)

Realisasi pengurangan emisi Indonesia masih jauh dari cukup. Sektor energi kita masih begitu bergantung pada batu bara.

Bukannya mengatasi ketergantungan pada energi kotor itu, justru pemerintah memperparahnya dengan berencana membangun sejumlah PLTU baru. Padahal menurut hitungan Carbon Tracker, untuk mencapai Kesepakatan Paris, pemanfaatan PLTU harus dihentikan tiga kali lipat dengan cara menutup satu unit PLTU per hari sampai 2040.

Pada titik inilah penting bagi pemerintah untuk menyikapi isu global secara adil. Salah satu solusinya, seperti sudah banyak disebut, adalah dengan mempercepat transisi dari batu bara menuju Energi Baru Terbarukan (EBT).

Tentu hajatan itu erat kaitannya dengan seberapa besar dukungan pendanaan yang dikeluarkan pemerintah. Semakin kecil dukungan anggaran, semakin lambat proses transisi energi. Lantas sejauh mana realisasi EBT kita sekarang? Tercatat dalam data Bappenas, pada rentang 2013-2020, perkembangan pangsa EBT dalam bauran energi primer masih cenderung jauh antara realisasi dan target. Pada tahun 2020, misalnya, realisasi EBT hanya sebesar 11,2% padahal targetnya 16%. Data lengkapnya sebagaimana grafik berikut:

Kecenderungan lima tahun terakhir dalam data tersebut patut menjadi perhatian serius. Meski realisasinya selalu naik dari tahun ke tahun, tampak bahwa target pengembangan EBT dengan realisasi semakin melebar. Jika ini tidak dievaluasi, salah-salah komitmen NDC 2030 tidak mampu kita penuhi.

Ada banyak sekali risiko yang dihadapi jika Indonesia kehilangan ambisi menuju NDC 2030. Selain terancam kehilangan ekosistem dan keanekaragaman hayati, meningkatnya emisi karbon juga akan berdampak pada perekonomian Indonesia.

Target yang lebih ambisius harus diterjemahkan dalam komitmen politik Presiden Jokowi dan juga pada kebijakan sektoral pemerintahnya. Tentu saja, hari ini sampai sepuluh tahun ke depan adalah penentuan yang menuntut kita untuk aktif mengevaluasi komitmen itu terus menerus.

Terkait hari ini, seberapa besar komitmen perubahan iklim diterjemahkan ke dalam politik anggaran? Kecil sekali.

Dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2022 yang sedang disusun Bappenas, porsi perhatian pada lingkungan hanya diberi 1,6% dari total anggaran yang direncanakan, atau sebanyak Rp9,6 triliun dari total Rp577.7 triliun alokasi prioritas nasional.

Angka tersebut tergolong kecil jika dibanding alokasi prioritas nasional lainnya, semisal rencana pengembangan wilayah Ibu Kota baru sebesar Rp106,2 triliun. Dan jauh lebih kecil jika dibanding alokasi infrastruktur yang mencapai Rp125,7 triliun.

Meski merupakan angka sementara, yang berarti anggaran penanganan iklim masih bisa diharapkan berubah lebih besar, angka tersebut menegaskan, sekali lagi, betapa ambisi pemerintah dalam melaksanakan komitmen iklim makin tidak memadai. Sementara hitung mundur menuju emisi nol terus berjalan.

Author