Skip to content

Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Pertanian

  • by

Pertanian adalah aspek fundamental bagi perekonomian Indonesia. Akan tetapi, tantangan yang dihadapi petani Indonesia masih sangat banyak, seperti dalam hal sarana prasarana, distribusi, tata niaga, hingga perubahan iklim yang makin tak menentu. Dewasa ini, BMKG menyatakan terjadinya perubahan iklim terhadap La Nina telah menyebabkan frekuensi hujan ekstrim di Indonesia makin sering terjadi. Selain itu, intensitas hujan musim kemarau cenderung berkurang, sehingga risiko kekeringan meningkat.

Menurut Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, kekeringan musim kemarau dan hujan ekstrim di musim penghujan ini diproyeksikan akan bertahan sampai akhir abad ke-21. Hal tersebut menandai dibutuhkannya proses adaptasi untuk mengantisipasi dampak bencana dan kerugian ekonomi.

Pada sektor pertanian, BMKG telah bekerjasama dengan lembaga lain menginisiasi sejumlah proses adaptasi. Salah satunya melalui program Sekolah Lapang Iklim (SLI). SLI sukses digelar oleh BMKG di Padukuhan Karang, Kulonprogo DIY. SLI ini diikuti oleh petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Sumber Mulyo, yang berfokus pada budidaya tanaman bawang merah.

SLI bertujuan meningkatkan pengetahuan petani mengenai informasi iklim dan dampaknya terhadap sektor pertanian. Selain itu SLI juga menekankan masyarakat tani dalam soal mitigasi bencana. Harapannya, pengetahuan ini bisa mengubah cara pandang terhadap iklim, dari yang selama ini dianggap faktor pembatas, menjadi faktor penunjang kegiatan pertanian.

Sektor pertanian agaknya memang perlu diperhatikan lebih serius. Sebagai aspek yang paling mendasar bagi ekonomi Indonesia (terutama dalam konteks menjamin kecukupan pangan seluruh rakyat), sektor pertanian perlu didorong untuk meningkatkan nilai tambah dengan mempertimbangkan sisi produktivitasnya dan sisi keberlanjutannya.

 Dua sisi tersebut tak bisa ditawar. Arti penting dari produktivitas dan keberlanjutan sektor pertanian akan makin terasa jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa sektor ini telah menjadi salah satu penyumbang Gas Rumah Kaca (GRK) terbesar di Indonesia.

Dikhawatirkan, jika praktik as usual pertanian terus berlanjut, produktivitas petani kita akan terus melemah dan keberlanjutannya tidak berlangsung lama.                

Tren menunjukkan, pertumbuhan sektor pertanian keseluruhan selalu lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan nilai tambah sektor pertanian juga terbilang lambat, hanya di kisaran tiga persen per tahun. Sementara itu, jumlah absolut pekerja di sektor pertanian relatif tidak berkurang, yang itu berarti produktivitas sektor ini tak mengalami peningkatan berarti.

Sumber: Badan Pusat Statistik
Sumber: Badan Pusat Statistik

Di sisi lain, kontribusi sektor pertanian terhadap meningkatnya GRK juga tak dapat dibilang sedikit. Menurut data BPS, sejak tahun 2010, pertanian menyumbang 8% (atau 104.501 ribu ton CO2e) dari total GRK Indonesia. Angka itu relatif meningkat secara konstan hingga mencapai 10,5% dari total GRK pada tahun 2017. Angka emisi CO2e tak menunjukkan penurunan bahkan ketika total emisi CO2e menunjukkan laju fluktuatif. Pada tahun 2016-2017, saat total emisi CO2e menurun dari 1.457.821 ribu ton CO2e menjadi 1.150.772 ribu ton CO2e, emisi pertanian tetap menunjukkan peningkatan dari 116.690 ribu ton CO2e menjadi 121.686 ribu ton CO2e. Tren peningkatan yang tampak cukup konsisten dapat menjadi indikasi masalah emisi karbon CO2 sektor pertanian. Jika dilihat dalam spektrum yang lebih jauh, akan tampak betapa sektor pertanian selama hampir 20 tahun terakhir relatif dikelola tanpa memperhatikan aspek lingkungan.

Sumber: Badan Pusat Statistik
Sumber: Badan Pusat Statistik

Padahal, dalam UU No. 16 Tahun 2016 ditegaskan bahwa Indonesia berketetapan untuk menurunkan GRK melalui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Pada dokumen itu, Indonesia menanggung komitmen mengurangi emisi karbon sebesar 29% dengan usaha sendiri (dan 41% dengan dukungan internasional) sampai pada tahun 2030.

Kenyataannya, produktivitas pertanian masih rendah, ditambah dengan emisi karbon yang tinggi, jelas penting dikaitkan dengan solusi langsung salah satunya melalui peremajaan lahan. Dengan cara ini, peran sektor pertanian dapat berkembang lebih besar, bahkan komoditasnya dapat ditingkatkan sebagai andalan ekspor. Peremajaan penting dilakukan sebagai upaya menggenjot produksi pertanian tanpa keharusan menambah luas lahan. Dalam kertas kerja Koalisi Generasi Hijau, ada lima jenis perkebunan rakyat yang perlu didorong untuk melakukan perbaikan pola budidaya, meliputi: karet, kopi, kakao, kelapa, dan sawit.

Banyak yang menyebutkan bahwa cara terbaik melakukan peremajaan adalah melalui penanaman kembali lahan perkebunan yang terdegradasi dengan benih genetik unggulan. Benih tersebut harus merupakan varietas rendah emisi berdaya hasil tinggi. Dalam hal ini, pemerintah perlu memikirkan bentuk insentif untuk para petani melakukan penanaman kembali. Transfer dana tunai jangka pendek kepada pemilik perkebunan kecil, petani kecil, dapat menjadi solusi terbaik.

Selain itu, urgensi peremajaan sektor pertanian juga harus menimbang manfaat langsung yang dapat diperoleh petani. Hal ini pernah (dan terus) digaungkan oleh Presiden Joko Widodo, salah satunya melalui konsep korporasi petani.

Presiden meyakini, dengan cara kerja dalam kelompok besar, petani dapat melakukan pengelolaan pertanian dari hulu hingga hilir dengan menggunakan manajemen modern, memanfaatkan aplikasi-aplikasi modern, melakukan industri yang modern, sekaligus memasarkan produknya kepada industri retail atau konsumen.

Sekurang-kurangnya, menurut koalisi Generasi Hijau, jika dua program tersebut dapat berjalan dengan baik, diperkirakan akan ada pengurangan emisi sebesar 100 juta tCO2e dalam jangka waktu 20 tahun. Pengurangan itu mencakup ‘penghindaran’ emisi sebesar 63 tCO2e/ha atas lahan yang diremajakan dan pengurangan emisi sebesar 85 tCO2e/ha selama 20 tahun.

Produktivitas petani perlu didukung. Keberlanjutan sektor pertanian perlu terus dipikirkan. Pada akhirnya, dukungan riil pemerintah dalam bentuk stimulus fiskal juga merupakan bagian terpenting demi upaya jangka panjang menjadikan negeri agraris ini berdaulat atas pangan.

Artikel ini juga ditayangkan pada tautan berikut: https://rumahberkelanjutan.id/dampak-perubahan-iklim-sektor-pertanian/

Author