Skip to content

Collaborative Empowerment: Menghilangkan Stigma Buruk Corporate Social Responsibility Melalui Perencanaan Kolaboratif

Anwar Muhammad Foundation – Istilah Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perusahaan (TJSLP) saat ini sudah sangat umum diketahui oleh berbagai kalangan. Secara ringkas, CSR ini dapat dikatakan sebagai salah bentuk tanggung jawab suatu perusahaan terhadap lingkungan dan sosial yang menjadikan masyarakat menjadi sasaran utama.

Pada praktiknya, tantangan utama pelaksanaan CSR yakni penggunaan persfektif perusahaan secara tunggal. Hal ini berakibat pada tolak ukur keberhasilan hanya datang dari perspektif tunggal yakni dari pelaksana, sedangkan penerima CSR yakni masyarakat tidak memiliki ruang yang cukup untuk memberikan penilaian.

Imbasnya, banyak praktisi, akademisi, hingga aktor lokal memberikan kritik bahwa pelaksanaan CSR seringkali tidak memberikan dampak yang signifikan pada lingkungan dan sosial. Selain itu, seolah menjadi stigma buruk bahwa CSR dinilai hanya menjadi program penggugur kewajiban perusahaan untuk memenuhi kepatuhan dan kesesuaian dengan standar dan regulasi yang ada.

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Untuk menghilangkan stigma buruk CSR, PT Supreme Energy Rantau Dedap (SERD) selaku pihak pengelola Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Rantau Dedap, Provinsi Sumatera Selatan menggandeng Anwar Muhammad Foundation (AMF), yakni lembaga nirlaba yang bergerak dalam pengembangan praktik pembangunan berkelanjutan sebagai pelaksana CSR.

CSR oleh PT SERD dan AMF ini berfokus pada peningkatan kapasitas petani kopi dan penguatan pada rantai kreasi nilai pasar kopi. Fokus tersebut tidak terlepas dari tantangan utama yang dihadapi oleh petani kopi yakni tantangan perubahan iklim dan tantangan akses dan rantai kreasi nilai pasar kopi. Pada tahap perencanaan, Tim AMF melakukan serangkaian kegiatan seperti di bawah ini.

Baca Juga : Mendorong Inovasi Praktik Berkelanjutan, AMF Mendukung UISO

Work Team Becomes Teamwork

Internal Tim AMF melakukan pertemuan rutin secara intens untuk mengeratkan hubungan anggota tim satu sama lain.

Merubah work team menjadi teamwork ini bukan perkara instan. Ada dua kunci utama di sini, pertama menggunakan pendekatan bottom-up dari level terbawah yakni dengan mendengarkan saran dan masukan dari anggota tim. Kedua, keberadaan Team Leader yang menjadi fasilitator untuk menghubungkan dan menindaklanjuti seluruh saran dan masukan dari anggota tim.

Keberadaan dua kunci utama tersebut membuat seluruh anggota tim proaktif memberikan gagasan dan melengkapi kekuatan satu sama lain, serta mengimbangi kelemahan satu sama lain, sehingga menghasilkan hasil yang baik.

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Operasionalisasi Konsep

Operasionalisasi konsep ini yakni menentukan, memperdalam pemahaman konsep, dan menurunkan konsep sampai level indikator yang terukur.

Hasil dari operasionalisasi konsep ini juga menjadi dasar penentuan struktur dan pembagian kerja. Ini akan menentukan workload dan batasan kerja seluruh anggota tim semakin jelas dan terarah.

Studi Awal

Tim AMF melakukan studi awal bertujuan untuk mengidentifikasi potensi lokal, konteks wilayah, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Stakeholder Engagement

Stakeholder Engagement Plan (SEP) ini menjadi langkah awal perencanaan program CSR. SEP ini bertujuan untuk mengidentifikasi, mengkategorisasi, dan merencanakan keterlibatan pemangku kepentingan. Hasil dari SEP ini juga untuk mengetahui kekuatan dan ketertarikan yang akan dijadikan sebagai dasar pelibatan pemangku kepentingan.

Pemangku kepentingan yang berhasil diidentifikasi yakni masyarakat, pemerintah desa, pemuka agama, tokoh masyarakat, instansi pemerintah kabupaten, institusi keuangan, dan forum CSR tingkat provinsi. Pelaksanaan SEP ini dengan melakukan wawancara mendalam dan Diskusi Terpumpun.

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Perencanaan Diputuskan Secara Bersama

Perbedaan mendasar kerja sama dan kolaborasi antar pemangku kepentingan yakni pada perencanaan. Ini menjadi landasan utama Tim AMF dalam memberdayakan berbagai pemangku kepentingan dalam CSR.

Berbagai pemangku kepentingan merasa memiliki atas pelaksanaan CSR. Ini penting untuk menjadikan seluruh pemangku kepentingan bertanggung jawab atas seluruh keputusan bersama, sehingga memiliki nilai dan visi CSR yang sama pada tahap pelaksanaan CSR.

Baca Juga : What is Corporate Social Responsibility (CSR)?

Manfaat yang diharapkan dari proses perencanaan yang kolaboratif ini adalah perencanaan yang semakin jelas dan terarah, meminimalisir penolakan, membangun rasa kepemilikan bersama, dan meningkatkan ketergantungan antar pemangku kepentingan.

Tantangan Collaborative Empowerement

Tim AMF menyadari bahwa perencanaan CSR dengan memberdayakan secara kolaboratif kepada seluruh pemangku kepentingan ini memiliki berbagai tantangan, antara lain waktu yang cukup lama, kompleksitas gagasan dan nilai, dan tambahan biaya. Namun, collaborative empowerement ini tetap diperlukan untuk memastikan seluruh harapan dan gagasan seluruh pemangku kepentingan menjadi dasar pelaksanaan program.

Penutup

Untuk menghilangkan stigma buruk CSR harus dimulai dari tahap perencanaan. Jauh sebelum bertemu dengan berbagai macam pemangku kepentingan, tim internal perlu menjadi teamwork dengan workload dan batasan kerja yang jelas dan terukur. Setelah itu, melakukan beberapa rangkaian aktivitas seperti studi awal, SEP, dan keputusan bersama seluruh pemangku kepentingan. Harapannya, dengan collaborative empowerement ini, penentuan keberhasilan CSR tidak hanya datang dari persfektif perusahaan, namun datang dari seluruh perspektif pemangku kepentingan yang terlibat.

Author