Skip to content

AMF Memperkuat Pemahaman Konsep LRP dalam Konteks Global

cover artikel

Anwar Muhammad Foundation – Pemerintah Indonesia telah mengatur tata cara pembebasan lahan dalam peraturan perundangan, tepatnya UU Nomor 2 Tahun 2012 dan peraturan turunannya.  Namun demikian, masih terdapat beberapa hal dalam regulasi nasional yang perlu dilakukan penguatan. Salah satunya yaitu mitigasi dampak negatif pembebasan lahan terhadap masyarakat di  sekitar area proyek.  Dampak-dampak tersebut seperti kehilangan mata pencaharian, kehilangan properti, kehilangan akses ke sumber-sumber penghidupan, maupun kehilangan akses menuju fasilitas umum.

Oleh karena itu, pihak pemrakarsa proyek dapat melengkapi dan memperkuat pengelolaan dampak negatif pembebasan lahan dengan mengacu pada Standar Internasional. Beberapa standar tersebut di antaranya Performance Standard 5 milik International Finance Corporation (IFC) dan Environmental and Social Standard (ESS) 5 oleh World Bank.

Konsep LRP: Dampak Pembebasan Lahan perlu Dikuatkan

Konsep LRP

(Sumber foto: dokumentasi AMF)

Salah satu penguatan yang dilakukan adalah melalui Livelihood Restoration Program (LRP).  LRP merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemrakarsa proyek. Tujuan LRP yaitu untuk mengembalikan dan memulihkan mata pencaharian serta sumber penghidupan masyarakat akibat dampak pembebasan lahan (Land Acquisition/LAQ). Dengan demikian, implementasi LRP menjadi bagian penting dalam suatu proyek.

Baca Juga: AMF dalam IAIA23: Mewujudkan Ketahanan yang Berkelanjutan

Anwar Muhammad Foundation (AMF) banyak mendapatkan amanah LRP. Salah satunya yaitu LRP untuk proyek pembangkit panas bumi Supreme Energy di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan. Meskipun demikian, AMF tetap merasa perlu untuk meningkatkan pemahaman tentang LRP.  Oleh karena itu, AMF telah mengirimkan delegasinya ke forum International Association for Impact Assessment (IAIA) 2023 di Kuching, Malaysia pada 8 – 13 Mei 2023. Salah satu kursus yang diikuti membahas tentang “Resettlement and livelihood restoration: achieving the intended outcomes”.

Salah satu pelatihan dalam IAIA23 membahas bagaimana penilaian dampak proyek dengan LRP berhubungan erat. Materi pelatihan yang disampaikan di IAIA23 adalah berdasarkan pembelajaran dari implementasi LRP di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Berikut ini beberapa poin penting dalam pelatihan di IAIA23.

Baca Juga: Mirekel Memperkuat ESG dalam Penilaian Dampak Melalui IAIA23

– Dalam konteks global, tidak ada standar paling benar atau paling baik terkait dengan implementasi LRP. Standar internasional yang menjadi acuan implementasi LRP hanya memberikan landasan konsep dan kerangka kerja. Aktualisasi LRP akan menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan di masing-masing negara.

– Prinsip LRP sejalan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. LRP menjamin hak atas tanah dan properti, hak untuk hidup layak, serta hak mendapatkan akses ke sumber-sumber penghidupan. Implementasi LRP merupakan upaya untuk memastikan bahwa Project Affected People (PAP)  memperoleh hak-hak dasarnya secara adil dan transparan. Hal ini juga berlaku tidak terkecuali pada kelompok rentan dan kelompok masyarakat adat.

– Implementasi LRP juga bertujuan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. LRP dapat membantu pemerintah maupun pihak swasta dalam memenuhi komitmen pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pada tahap perencanaan, LRP harus mengacu pada hasil studi penilaian dampak. Hal ini bertujuan agar implementasi LRP dapat sejalan dengan pengelolaan dampak sosial dan lingkungan.

– Kunci keberhasilan dari LRP adalah pada validitas data rona awal dan pemetaan sosial.  Data-data ini perlu didukung oleh data Geographic Information System (GIS) yang memungkinkan stakeholder proyek dapat melihat data secara spasial. Validitas data ini penting dalam menentukan target penerima manfaat dan menyusun perencanaan LRP sehingga program dapat berjalan optimal dan efektif.

– Implementasi LRP dapat dihadapkan pada berbagai tantangan, seperti keterbatasan anggaran, perubahan iklim, konflik di masyarakat, ataupun masalah birokrasi. Keberhasilan LRP akan sulit dicapai jika hanya bergantung pada satu pihak saja.  Oleh karena itu, LRP memerlukan kolaborasi dan koordinasi berbagai pihak, meliputi pemerintah, LSM, masyarakat, dan sektor swasta.

– Indikator keberhasilan utama  LRP adalah mengembalikan kondisi penghidupan PAP minimal sama dengan kondisi sebelum terkena dampak pembebasan lahan.  Realitanya, keberhasilan implementasi LRP tidak akan mencapai 100% karena banyak faktor mempengaruhi kondisi penerima manfaat pasca intervensi program. Hal yang paling penting adalah intervensi program tetap harus menyentuh seluruh PAP yang menjadi target penerima manfaat program.

– Monitoring dan evaluasi untuk mengawal keberhasilan LRP penting dilakukan.  Kegiatan monitoring dan evaluasi ini perlu dilakukan secara berkala selama periode pelaksanaan program. Hal ini bertujuan untuk memastikan adanya perbaikan dan penyempurnaan dalam implementasi LRP.

Komitmen AMF dalam upaya meningkatkan kualitas layanan LRP dan LAQ

(Sumber foto: dokumentasi AMF)

Catatan-catatan penting dari pelatihan IAIA diharapkan dapat memperkuat dasar pemahaman tentang konsep implementasi LRP bagi personil AMF. Meskipun demikian, masih banyak hal yang perlu dikaji lagi secara mendalam dari berbagai referensi untuk mendukung pekerjaan AMF dalam LAQ dan khususnya terkait implementasi konsep LRP.

 

Author