Anwar Muhammad Foundation – Menyambut Hari Bumi, terdapat suatu pemandangan yang berbeda pada aktivitas kita berselancar di mesin penelusuran. Google Doodle pada tanggal 22 April 2022 menunjukkan permukaan bumi yang berubah seiring berjalannya waktu.
Fenomena pertama yang ditunjukkan pada Google Doodle adalah semakin berkurangnya permukaan es di Gunung Kilimanjaro, Tanzania, Afrika. Selain itu ditunjukkan pula degradasi terumbu karang atau coral bleaching yang terjadi di Great Barrier Reef, Australia. Hutan yang menjadi ikon lingkungan hidup juga ikut serta digambarkan dalam menyambut Hari Bumi. Terdapat gambar berkurangnya pohon di Hutan Harz, Elend, Jerman sejak 1995 – 2020.
Kita diingatkan kembali terkait dengan dampak aktivitas manusia terhadap kelestarian alam. Betapa kita, dengan dalih memenuhi kebutuhan, ternyata mendestruksi alam. Hal ini menjadikan kita bertanya-tanya, apa selama ini yang kita lakukan untuk menebus dosa merusak alam?
Berbagai Diskusi dan Perjanjian Isu Iklim Menjadi Agenda Internasional
(sumber foto: Photo Story: Beyond the negotiations, COP26 in pictures | UN News)
Berbagai pertemuan internasional diselenggarakan untuk dapat membahas solusi terbaik yang bisa ditawarkan kepada alam. Hal ini dilakukan agar seluruh negara bisa berkontribusi semaksimal mungkin dalam mencegah krisis iklim yang dampaknya sudah bisa dirasakan. Merangkum berbagai forum dunia tersebut, terdapat 3 hasil keputusan besar yang menjadi kerangka upaya menyelesaikan krisis iklim. Ketiga hal tersebut yaitu Kerangka UNFCCC, Protokol Kyoto, serta Persetujuan Paris.
Kerangka UNFCCC bertujuan untuk menstabilkan GRK di atmosfer sehingga mencegah sistem iklim terganggu. Lebih lanjut, kerangka ini bertujuan untuk melindungi ketahanan pangan, menjaga ekosistem, serta mewujudkan ekonomi yang berkelanjutan. Tujuan Protokol Kyoto tidak berbeda dengan kerangka UNFCCC. Namun, protokol ini lebih fokus kepada aksi mitigasi.
Persetujuan Paris, di sisi lain, bertujuan untuk mencegah kenaikan suhu bumi sebesar 1,5oC. Selain itu, Persetujuan Paris juga bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan serta kesetaraan. Meskipun demikian, tujuan Kerangka UNFCCC tidak dilupakan oleh Persetujuan Paris.
Baca Juga: Transportasi Berkelanjutan dalam Menyambut Mudik Lebaran
Kerangka UNFCCC diwujudkan dengan implementasi secara nasional oleh masing-masing negara. Implementasi-implementasi tersebut akan dikomunikasikan secara berkala. Pada Protokol Kyoto, implementasi lebih mengarah pada perdagangan karbon sehingga mekanisme pasar diterapkan di dalamnya. Pelaporan dan review dilakukan untuk memonitor implementasi yang dilakukan.
Transparansi Persetujuan Paris dilakukan dengan adanya pertemuan setiap 5 tahun sekali untuk penilaian progres secara kolektif. Implementasi Persetujuan Paris dilakukan dengan kerjasama sukarela dalam upaya mitigasi serta dorongan REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation). Untuk mewujudkan implementasi tersebut, dibuatlah panitia yang mendorong penataan serta memfasilitasi implementasi.
Masyarakat juga Berdaya Membela Kelestarian Bumi
(sumber foto: Photo Story: Beyond the negotiations, COP26 in pictures | UN News)
Kerjasama internasional terkait krisis iklim tidak hanya mengikutsertakan pemerintah saja, melainkan juga kelompok sosial. Kelompok-kelompok ini fokus kepada konsultasi dan membagikan apa yang mereka hadapi di lapangan dalam konteks inisiatif tata kelola iklim.
Seiring berjalannya waktu, peran dari masyarakat sosial semakin gencar. Di tahun 1990 hingga awal 2000-an, demonstrasi terkait dengan isu krisis iklim lebih berpusat di negara-negara maju. Lebih spesifik lagi, upaya-upaya tersebut banyak dilakukan di negara-negara yang tergabung dalam UNFCCC. Namun sejak pertengahan tahun 2000-an, gerakan-gerakan non-institusional ataupun demonstrasi simultan dilakukan di berbagai negara. Lebih banyak masyarakat yang terwakili, termasuk masyarakat rural, pemuda, wanita, buruh, dan lain sebagainya.
Semua Pihak Memiliki Peran Masing-masing dalam Menyelesaikan Krisis Iklim
Solusi atas krisis iklim yang terjadi saat ini tidak bisa diserahkan kepada salah satu pihak. Apabila pemerintah melakukan segala upaya untuk menyusun kebijakan namun masyarakat enggan menaati, maka pengentasan masalah iklim tidak bisa terwujud. Pun sebaliknya. Jika masyarakat maupun pelaku bisnis mencoba untuk mengupayakan mitigasi iklim namun pemerintah tidak memfasilitasi, maka krisis iklim semakin menjadi-jadi.
Baca Juga: Elektrifikasi Kendaraan untuk Urban Mobility Berkelanjutan
Sinergi merupakan kunci utama dalam menyelesaikan krisis iklim. Kerjasama dapat dilakukan lintas negara, lintas sektor, lintas tingkatan, atau lintas kepentingan. Dengan bersinergi, upaya yang kita lakukan akan semakin masif. Dampak yang dihasilkan juga semakin menyeluruh. Kolaborasi yang saat ini sudah diwujudkan tidak akan pernah cukup untuk menyelesaikan krisis iklim. Oleh karena itu dibutuhkan makin banyak kerjasama antar berbagai pihak sehingga penyelesaian krisis iklim dapat terakselerasi.