Skip to content

Dampak Perubahan Tata Guna Lahan terhadap Intensitas Banjir di Jabodetabek

Anwar Muhammad Foundation – Jabodetabek, yang merupakan singkatan dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, merupakan kawasan urban yang mengalami pertumbuhan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Pertumbuhan ini tidak terlepas dari konversi lahan yang signifikan, di mana lahan pertanian dan terbuka hijau beralih fungsi menjadi lahan terbangun seperti permukiman, industri, dan infrastruktur. Menurut data, konversi lahan di Jabodetabek telah menyebabkan hilangnya area pertanian dan hutan yang berfungsi sebagai penampung air, yang berkontribusi terhadap peningkatan intensitas banjir di wilayah ini.

Perubahan tata guna lahan yang cepat ini berhubungan erat dengan dinamika populasi dan kebutuhan akan ruang untuk pemukiman dan kegiatan ekonomi. Dengan meningkatnya jumlah penduduk, permintaan akan lahan terus bertambah, sementara kapasitas lingkungan untuk menyerap air hujan semakin berkurang. Akibatnya, daerah-daerah yang sebelumnya memiliki sistem drainase alami menjadi lebih rentan terhadap banjir.

Perubahan tata guna lahan di Jabodetabek memberikan dampak signifikan terhadap intensitas banjir di kawasan tersebut. Berikut adalah beberapa poin utama yang menjelaskan hubungan antara perubahan tata guna lahan dan peningkatan risiko banjir:

1. Hilangnya Kawasan Resapan Air

Perubahan tata guna lahan

Sumber foto: mongabay

Perubahan penggunaan lahan dari area hijau atau pertanian menjadi kawasan terbangun (permukiman, industri, dan infrastruktur) telah mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air hujan. Data menunjukkan bahwa hingga 80-90% air hujan di wilayah perkotaan Jabodetabek berubah menjadi aliran permukaan akibat minimnya ruang terbuka hijau.

 

2. Peningkatan Debit Aliran Permukaan

Perubahan tata guna lahan

Sumber foto: liputan6 com

Di daerah aliran sungai (DAS) seperti Kali Angke dan Krukut, perubahan tata guna lahan menyebabkan peningkatan debit banjir. Sebagai contoh, debit banjir pada DAS Kali Angke meningkat hingga 42,83% dalam periode tertentu akibat alih fungsi lahan di wilayah hulu dan hilir. Hal ini diperparah oleh sedimentasi dan penyempitan badan sungai akibat aktivitas manusia.

 

3. Kapasitas Drainase yang Tidak Memadai

Sumber foto: sinar pagi baru

Sistem drainase di Jabodetabek tidak mampu menampung debit aliran permukaan yang meningkat akibat perubahan tata guna lahan. Akibatnya, genangan dan banjir semakin sering terjadi, terutama di wilayah hilir seperti Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Bekasi.

 

4. Faktor Curah Hujan

Sumber foto: RRI

Selain perubahan tata guna lahan, intensitas curah hujan yang tinggi juga berkontribusi terhadap peningkatan risiko banjir. Namun, dampaknya diperburuk oleh penurunan daya serap tanah di daerah hulu DAS akibat konversi lahan.

 

Untuk mengatasi dampak perubahan tata guna lahan terhadap intensitas banjir di Jabodetabek, diperlukan strategi mitigasi yang komprehensif dan terpadu. Berikut adalah beberapa strategi mitigasi yang dapat diterapkan.

1. Pengembangan Sistem Drainase Terpadu

Sumber foto: beton precast

Merancang sistem drainase terpadu yang terdiri dari saluran drainase, kolam retensi, dan pompa air untuk mengalirkan air hujan dengan cepat dan efisien. Sistem drainase perkotaan yang efektif memerlukan integrasi antara sistem drainase utama (kanal dan sungai) dan sistem drainase mikro (selokan, gorong-gorong, dan saluran drainase trotoar).

 

2. Penerapan Sistem Drainase Berkelanjutan (LID)

Perubahan tata guna lahan

Sumber foto: Jakarta Barat

Mengintegrasikan metode Pengelolaan Air Hujan Berbasis Lanskap (LID) seperti taman hujan, bioswale, dan permukaan peresapan untuk mengelola air hujan secara alami. Teknik ini membantu mengurangi aliran air permukaan dan meningkatkan infiltrasi ke dalam tanah. Dapat memaksimalkan jumlah air yang meresap ke dalam tanah, tidak hanya mengalirkan air permukaan ke tempat lain.

 

3. Penggunaan Teknologi dan Material Inovatif

Sumber foto: mertani

Menggunakan teknologi sensor untuk memantau kondisi saluran drainase secara real-time, mendeteksi penyumbatan, kebocoran, atau kerusakan. Memanfaatkan material inovatif seperti beton permeabel atau geotekstil untuk meningkatkan kemampuan saluran drainase dalam mengalirkan air dan mencegah penyumbatan.

Baca juga: BMKG Beri Peringatan Adanya Perubahan Iklim Ekstrem!

Kesimpulan

Hilangnya kawasan resapan air dan peningkatan debit aliran permukaan memperburuk kondisi drainase yang sudah tidak memadai. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan strategi mitigasi yang komprehensif, termasuk pengembangan sistem drainase terpadu, penerapan sistem drainase berkelanjutan (LID), penegakan peraturan tata ruang, peningkatan ruang terbuka hijau, serta pengelolaan partisipatif masyarakat. Pemerintah daerah juga memiliki peran penting dalam menyiapkan lahan dan mengatasi masalah sampah untuk mendukung efektivitas infrastruktur pengendali banjir. Tanpa penanganan tata ruang yang serius dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, Jabodetabek akan terus menjadi wilayah yang rentan terhadap bencana banjir.

 

 

Referensi

jurnal.umj.ac.id. (2017). ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT BANJIR DI WILAYAH HILIR ALIRAN KALI ANGKE.

infopublik.id. (2017). Dampak Penggunaan Lahan Pesat, Jakarta dan Sekitarnya Rentan Banjir.

alvindocs.com. (2024). Pentingnya Mengatasi Masalah Drainase di Perkotaan dan Strateginya.

kompas.id (2025, Maret). Banjir Jabodetabek, Bagaimana Situasi Terkini dan Apa Penyebabnya?

Author