Skip to content

Lebaran Usai, Cegah Produksi Limbah Tekstil Secara Mandiri

Anwar Muhammad Foundation – Lebaran Idul Fitri 2022 telah kita lalui bersama. Setelah melepas rindu kepada sanak saudara, saatnya masyarakat kembali ke rutinitas harian seperti bekerja dan bersekolah. Namun, terdapat suatu hal yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja selepas hari raya, yaitu baju lebaran.

Idul Fitri yang identik dengan hari baru menjadikan masyarakat membeli pakaian baru pula. Pakaian ini berpotensi menjadi limbah tekstil karena biasanya hanya menjadi kenangan di lemari pakaian selepas lebaran. Maka dari itu, penting untuk mengetahui pentingnya mencegah limbah tekstil.

Fast Fashion dan Petaka di Baliknya

(sumber foto: waste4change.com)

Limbah tekstil dapat dihasilkan karena masyarakat yang kurang mindful atau sadar dalam membeli pakaian. Acara penting yang perlu dihadiri, godaan tren yang sedang kekinian, atau bahkan gengsi menjadi beberapa alasan masyarakat asal membeli pakaian. Alhasil, pakaian tidak digunakan secara berkelanjutan. Selain itu, terdapat pula sistem fast fashion yang menghantui dunia tekstil sehingga tidak berkelanjutan.

Istilah fast fashion sudah mulai banyak didengar oleh masyarakat. Kunci definisi fast fashion terletak pada kata fast yang berarti “cepat”. Sejatinya, fast fashion merupakan sistem industri tekstil yang menghasilkan produk pakaian dalam waktu yang relatif lebih cepat. Fast fashion memfasilitasi sikap konsumerisme masyarakat yang berpakaian hanya sesuai tren saja.

Baca Juga: Meninjau Potensi Ekonomi Sirkular dalam Sektor Tekstil

Produksi yang cepat juga berarti dilakukan dengan tidak maksimal. Uji pencucian dan pemakaian produk fast fashion biasanya tidak dilakukan. Hal ini menjadikan kualitas pakaian kurang baik seperti mudah luntur dan mudah robek. Maka dari itu, produk fast fashion umumnya murah. Produk yang berkualitas buruk juga berpotensi mencemari lingkungan karena mudah melepas pewarna pakaian saat dicuci. Karena bahannya berkualitas rendah, pakaian mudah rusak dan akan dibuang oleh pemiliknya.

Tidak hanya itu, produksi yang cepat berpotensi mengeksploitasi pekerja. Industri tekstil merupakan salah satu sektor yang membutuhkan tenaga kerja manusia yang besar. Industri tekstil besar, terlebih penganut fast fashion, untuk memperbesar keuntungan, merekrut pekerja mereka dari masyarakat negara yang regulasi tenaga kerjanya lemah.

Mencegah Limbah Tekstil oleh Konsumen

(sumber foto: pexels.com)

Limbah tekstil yang dihasilkan oleh Indonesia dapat mencapai 2,3 juta ton. Diperkirakan 88% dari limbah tersebut masuk ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Namun, pada 2030, limbah yang dihasilkan berpotensi meningkat hingga 70%. Dari keseluruhan limbah tersebut, 87% limbah dihasilkan dari proses pasca konsumsi oleh konsumen.

Konsumen mengemban tanggung jawab besar untuk mencegah produksi limbah tekstil. Mengurangi konsumsi pakaian adalah langkah utama untuk mencegah timbulnya limbah pakaian. Tindakan ini juga ampuh mengubah sistem dan sikap konsumerisme yang selama ini dilakukan. Apabila sangat butuh pakaian tertentu, terdapat beberapa pertanyaan yang bisa diajukan kepada diri sendiri. Apakah benar-benar tidak ada pakaian tersebut di lemari? Apakah bisa meminjam pakaian dari orang lain? Apakah ada tempat persewaan pakaian yang ingin dipakai? Hal ini akan mencegah kita untuk membeli pakaian baru.

Baca Juga: PT Mirekel dan SGPP: Diskusi Integrasi ESG oleh Perusahaan

Apabila semua pertanyaan tersebut jawabannya adalah “tidak”, membeli pakaian bekas bisa menjadi opsi. Akhir-akhir ini, banyak bermunculan thrift store yang menjual pakaian dan aksesoris bekas. Hal ini merupakan langkah yang baik asalkan konsumen tidak membeli secara berlebihan.

Selain itu, mendukung industri yang berkelanjutan merupakan langkah selanjutnya. Berkelanjutan dalam hal ini berarti banyak hal. Material yang digunakan bisa berupa bahan organik, dapat didaur ulang, serta tidak beracun. Efisiensi mesin produksi juga bisa menjadi pertimbangan. Selain itu, bagaimana pekerja mendapatkan hak-hak mereka juga menjadi konsiderasi apakah industri tekstil tersebut berkelanjutan.

Namun, tidak semua orang memiliki akses membeli pakaian berkelanjutan terlebih karena harganya yang relatif mahal. Maka dari itu, menjaga pakaian sebaik mungkin juga merupakan hal utama yang harus dilakukan.

Baca Juga: Persiapan dan peran partisipasi Publik dalam persiapan G20

Pakaian yang sudah dimiliki harus dijaga agar tidak menjadi limbah. Apabila mengalami kerusakan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan memperbaikinya, seperti menjahit bagian yang rusak. Apabila tidak bisa diperbaiki, pakaian bisa dimanfaatkan untuk hal lain, misalnya kain lap. Beruntung pula bagi masyarakat yang memiliki akses daur ulang limbah tekstil. Namun di Indonesia, daur ulang limbah pakaian masih menjadi pekerjaan rumah bersama yang harus diupayakan.

Author