Anwar Muhammad Foundation – Apa yang Anda pikirkan saat mendengar istilah “emisi gas rumah kaca (GRK)”? Sebagian besar orang mungkin langsung membayangkan asap hitam yang mengepul tebal yang dihasilkan oleh cerobong pabrik besar. Sebagian lainnya mungkin memikirkan padatnya kendaraan bermotor di perkotaan yang mengeluarkan asap dan debu yang beterbangan. Benarkah emisi gas rumah kaca selalu tentang asap yang bisa kita lihat warna dan bentuknya?
Sayangnya, emisi GRK tidak sesederhana itu. Emisi GRK tidak jarang tidak kasat mata. Kegiatan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya ternyata juga menghasilkan emisi GRK. Masih terdapat berbagai sumber emisi GRK yang tidak sering dikuak oleh media. Salah satunya adalah perilaku manusia dalam mengelola sampah.
Bagaimana Anda Mengelola Sampah?
(Sumber foto: Dokumen Penulis)
Mari kita berefleksi sejenak dan bertanya kepada diri sendiri:
“Apa upaya yang kita lakukan untuk mengelola sampah selama ini?”
Masing-masing dari kita mungkin bisa menjawab dengan jawaban yang beragam. Perbedaan daerah dan kultur menjadikan kita mengelola sampah dengan cara yang berbeda-beda. Namun, apakah kita termasuk orang-orang yang tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut karena tidak ada upaya istimewa apapun dalam mengelola sampah?
Kita bisa memilah sampah menjadi beberapa jenis. Klasifikasi sampah yang paling sederhana adalah sampah organik/basah dan sampah anorganik/kering. Jika ingin lebih detail, pemilahan sampah bisa mencapai 5 jenis. Kelima jenis itu yaitu sampah organik, daur ulang, guna ulang, residu, dan B3 (bahan beracun dan berbahaya). Namun pada kenyataannya, banyak daerah di Indonesia tidak menyediakan fasilitas dan sumber daya untuk mengolah sampah berdasarkan jenisnya.
Baca Juga: Siapakah yang Dapat Melakukan Perdagangan Karbon?
Sampah juga bisa digunakan kembali atau didaur ulang. Bahkan, saat ini mulai bermunculan industri pengolahan sampah menjadi barang yang tepat guna. Istilah “sampah” tidak ada dalam kamus orang-orang yang berkiprah di bidang ini. Yang ada hanyalah barang yang memerlukan perlakuan khusus untuk bisa difungsikan kembali.
Beberapa wilayah di Indonesia sudah memiliki infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai. Terdapat TPS 3R (Tempat Pemrosesan Sampah Reduce, Reuse, Recycle) yang dapat mengelola sampah dalam skala lingkungan tertentu. Terdapat pula bank sampah. TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) juga mulai diperbaiki dan dicanggihkan teknologi pengolahan sampahnya. Teknologi insinerasi atau pembakaran sampah dengan suhu tinggi sudah diterapkan.
Sampah Berkontribusi dalam Krisis Iklim
(Sumber foto:Photo by Tom Fisk from Pexels)
Pengelolaan sampah, meskipun merupakan hal yang baik, sejatinya masih menghasilkan emisi GRK. Pengomposan sampah organik berpotensi menghasilkan CH4 (metana) dan N2O. Hal ini akan terjadi jika pengomposan dilakukan dengan tidak benar. Sekalipun metode yang diterapkan sudah tepat, efisiensi pengomposan tidaklah sebesar 100%.
Emisi pada TPA merupakan emisi terbesar yang dihasilkan dalam sektor persampahan. Penumpukan sampah di landfill TPA, terutama yang menerapkan sistem open dumping, akan mengemisikan CH4 dan N2O. Open dumping adalah sistem dimana sampah hanya dibuang begitu saja di lahan TPA. Sistem lainnya mungkin dapat meminimalisir emisi GRK yang dihasilkan. Namun, hal ini akan terwujud jika pengelolaan sampah dan gas yang dihasilkan dilakukan dengan baik. Insinerasi sampah pun menghasilkan emisi GRK, mengingat bahwa dasar pengolahan sampah ini adalah pembakaran.
Baca Juga: Memetik Inspirasi dari Ecovillage yang Telah Lama Berkiprah
Pengelolaan sampah memang harus dilakukan secara menyeluruh. Terdapat banyak celah dimana emisi GRK tetap bisa dihasilkan sekalipun pengelolaan sampah yang dilakukan sudah dirasa benar. Lantas, bagaimana dengan tidak ada pengelolaan sampah? Sampah yang tidak terkelola akan lebih memperburuk keadaan. Lingkungan menjadi kotor. Penyakit akan semakin bermunculan. Emisi GRK yang dihasilkan akan lebih besar.
Gas paling banyak dihasilkan oleh sampah yang tidak terkelola adalah metana. Hal ini karena terdapat mikroorganisme yang megurai sampah dalam keadaan aerob (terdapat udara). Metana memiliki Global Warming Potential (kuat potensi menyebabkan pemanasan global) kurang lebih 20 kali lipat karbon dioksida. Tidak hanya itu, perilaku open burning atau pembakaran sampah di rumah-rumah oleh warga juga akan menambah emisi GRK. Lebih jauh, dihasilkan pula gas-gas non rumah kaca yang bersifat beracun bagi makhluk hidup.
Hari Peduli Sampah Nasional 2022: Peringatkan Reduksi Emisi di Masa Pandemi
Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN), yang diperingati setiap tanggal 21 Februari, mengajak kita untuk semakin peduli dengan sampah. Tahun ini, tema yang diusung berbunyi “Kelola Sampah, Kurangi Emisi, Bangun Proklim”. Kepedulian akan sampah dapat kita tindak lanjuti dengan mengelola sampah yang kita hasilkan. Setelah memahami bahwa tidak terkelolanya sampah dengan baik akan menghasilkan emisi GRK, sudah sepatutnya kita mulai bijak mengelola sampah.
Momentum pandemi dapat menjadikan kita sadar bahwa mengelola sampah bisa kita mulai dari rumah. Sembari menghabiskan waktu di rumah, kita dapat mencoba menerapkan pengelolaan sampah. Pengolahan sampah dengan mendaur ulang dan mengomposkan sangat mungkin diterapkan di dalam rumah. Lebih jauh, kita dapat mengeksplor sekitar rumah untuk melihat apakah terdapat fasilitas pengolahan sampah yang tidak bisa kita olah sendiri.
Mengelola sampah dengan bijak adalah salah satu upaya yang bisa dilakukan oleh masyarakat dalam mengurangi emisi GRK. Hal ini juga akan menjadikan rumah lebih bersih, keluarga terhindar dari penyakit, dan produktivitas pun meningkat sekalipun pandemi masih terjadi.