Lompat ke konten

Partisipasik 3.0: Kolaborasi Generasi Muda Membangun Ketahanan Pangan Lokal!

Anwar Muhammad Foundation – Partisipasik 3.0 adalah acara via Zoom Meeting yang diikuti 50 orang, diselenggarakan Anwar Muhammad Foundation dengan tema “KolaborAksi Generasi Muda untuk Pangan Lokal”. Acara ini dibuka oleh Aldi Muhammad Alizar sebagai Chairman Anwar Muhammad Foundation (AMF) dan moderator Dietra Anandani yang akrab disapa Uni Lala. Acara ini mengajak kita tidak hanya berdiskusi, tetapi juga bergerak secara nyata.

 

Sambutan Pembuka: Mengapa Pangan Lokal Sangat Penting?

ketahanan pangan lokal

Sumber: AMF Dokumentasi

Aldi menjelaskan bahwa ketahanan pangan merupakan isu strategis di Indonesia, namun Indonesia masih sangat bergantung pada impor yang terus meningkat. Kekayaan pangan lokal kita belum dimanfaatkan secara optimal karena kurangnya pengetahuan mengenai budidaya, pengolahan, dan pemasaran, serta adanya tantangan seperti perubahan iklim, alih fungsi lahan, dan ketimpangan akses informasi. Generasi muda memiliki peran penting sebagai edukator, influencer, inovator produk, penggerak urban farming dan permakultur, serta mitra UMKM dan komunitas pangan. Ajakan sederhana dari beliau adalah memulai dari langkah kecil seperti menanam di rumah, memilih pangan lokal, dan mendukung UMKM agar ekosistem pangan berkelanjutan dapat terwujud bersama.

 

Paparan 1: Agus Budiyanto – Muda Berinovasi untuk Pangan Berkelanjutan

Sumber: AMF Dokumentasi

Agus Budiyanto dari BRIN membahas kreativitas sebagai kemampuan setiap individu untuk menemukan hal-hal inovatif, sedangkan inovasi adalah proses menciptakan sesuatu yang baru dan berani mengeksekusinya, bukan hanya sekedar gagasan. Tipsnya adalah merubah rutinitas harian, mengamati lingkungan, memanfaatkan potensi lokal, mengurangi pembelian barang baru, dan fokus tanpa terlalu banyak memikirkan hal lain.

Ketahanan pangan menurut Undang-Undang adalah pangan yang aman, bergizi, sehat, dan berkelanjutan yang dapat diakses oleh semua orang, dengan pilar ketersediaan, cadangan, pengurangan food loss dan waste, serta distribusi. Indonesia memiliki lebih dari 77 jenis karbohidrat lokal seperti padi, sorgum, hanjeli, umbi-umbian, sagu, dan aren harus mencapai swasembada dan tidak hanya mengandalkan beras.

Contoh inovasi sagu adalah rantai nilai lengkap mulai bahan baku (sagu yang regenerasi cepat seperti pisang), teknologi pengolahan (karakterisasi dan pemanfaatan limbah), hingga produk seperti biskuit, mie, beras, dan bakso sagu. Daya saing produk tinggi apabila kualitas dan inovasi baik, harga akan mengikuti secara otomatis; tantangan global seperti perubahan iklim dan gangguan rantai pasok impor memerlukan kebijakan pro-petani lokal serta inovasi teknologi non-pertanian. Motivasi beliau adalah mengkampanyekan pangan lokal dan berwirausaha mulai sejak kuliah melalui start-up.

 

Paparan 2: Gibran Tragari – Praktik Nyata Permaculture & Inovasi Sagu

ketahanan pangan lokal

Sumber: AMF Dokumentasi

Gibran Tragari merupakan pegiat pangan lokal dan community builder yang berperan penting dalam menggerakkan ekosistem pangan dari sisi masyarakat; beliau berfokus pada penguatan jaringan, networking, dan aksi nyata “Langkah Kecil” dari tingkat komunitas, menekankan bahwa pangan lokal terikat erat dengan budaya dan gaya hidup, serta memotivasi Gen Z untuk mengambil peran, baik sebagai konsumen, distributor, maupun kreator konten, agar dapat menjadi bagian dari sistem ideal yang membesarkan potensi pangan lokal. Praktisi permakultur dan desain lanskap dari Sendalu Permakultur (kebun belajar di Depok), mendorong eksplorasi dan praktik langsung. Contohnya adalah Sagu yang dijadikan bubuk untuk bubur atau olahan lain menggunakan alat yang tersedia; mie sagu kering yang dibuat dengan proses pencampuran, penimbangan, pengukusan, pencetakan, dan pengeringan secara alami 100% yakni beras sagu yang dicampur jagung untuk menambah protein, sudah dipraktekkan oleh anak SMP; bakso sagu yang dapat ditambahkan ayam, daging, atau ikan dengan produksi cepat sebanyak 662 butir dalam tiga menit; serta gula cair yang berasal dari sagu, singkong, dan jagung.

Di wilayah timur Indonesia, sagu disukai karena ramah terhadap lambung. Sendalu memfokuskan diri pada ketahanan pangan mandiri di perkotaan melalui komunitas, sekolah, dan tetangga, dan telah menanam 138 jenis tanaman pangan. Isu lainnya adalah konsumsi beras yang menurun sementara impor gandum meningkat dari 26% menjadi 28% antara 2020-2021 dan diperkirakan mencapai 50% pada 2050 akibat viralnya mie dan pasta di media sosial—oleh karena itu literasi pangan lokal, seperti cara mengolah dan jenis tanaman, perlu ditingkatkan.

Baca juga: Dari Bogor ke Kampung-Kampung: Jalan Panjang Replikasi ‘KPK’

Manfaat pangan lokal meliputi pengurangan emisi akibat rantai distribusi pendek, gizi yang lebih segar, kepercayaan terhadap produsen, biaya budidaya yang lebih murah, pengurangan kemasan berlebih, dan estetika makanan yang menarik seperti ubi bakar dengan daun pisang. Motivasi disampaikan untuk berani praktik dan menciptakan inovasi sederhana yang berdampak besar.

 

Diskusi & Q&A: Tantangan, Kolaborasi, Solusi Nyata

Sumber: AMF Dokumentasi

Diskusi dipimpin oleh moderator yakni Uni Lala yang menanyakan soal pendanaan pertanian yang minim meskipun anggaran sedikit meningkat seperti inisiatif generasi muda adalah memasarkan produk dulu dan menerapkan creative thinking demi swasembada karbohidrat. Gibran menambahkan bahwa kondisi pertanian di Indonesia seperti “maju mengalami kenaikan, mundur tidak mungkin.”

Uni Lala membuka sesi tanya jawab dengan membacakan pertanyaan pertama yang strategis dari Google Form, datang dari Asma Auliya Mufliha, mahasiswa IPB. Pertanyaan tersebut adalah: “Bagaimana korelasi pangan lokal dalam program mega pemerintah, yakni Makan Bergizi Gratis (MBG)?” Ini adalah pertanyaan krusial yang menyentuh kebijakan dan ekonomi nasional. Agus, dari perspektif riset IPB, segera menanggapi bahwa pangan lokal memiliki korelasi yang sangat kuat dengan MBG, bukan hanya sebagai alternatif, tetapi sebagai solusi unggul. Ia menekankan bahwa sagu, misalnya, memiliki kandungan gizi berupa resistant starch yang tinggi, sangat baik untuk kesehatan pencernaan anak, serta memiliki food print dan emisi karbon yang jauh lebih rendah dibandingkan sumber karbohidrat lain. Integrasi pangan lokal ke dalam MBG akan menjamin keberlanjutan pasokan, menurunkan ketergantungan pada satu jenis komoditas, dan secara langsung mendongkrak perekonomian petani di daerah penghasil sagu atau pangan lokal lainnya.

Melengkapi jawaban Agus, Gibran menambahkan bahwa korelasi ini harus dilihat dari sisi penguatan sistem pangan lokal secara keseluruhan. Program MBG yang menggunakan pangan lokal akan menciptakan permintaan pasar yang stabil dan masif sehingga menjadi katalis bagi komunitas dan entrepreneur muda untuk berani melakukan hilirisasi. Menurutnya, MBG tidak hanya harus gratis dan bergizi, tetapi juga harus berbudaya. Dengan memasukkan variasi pangan lokal, program ini dapat sekaligus memperkenalkan kekayaan kuliner daerah kepada generasi muda, membentuk ekosistem pangan yang ideal mulai dari hulu hingga hilir, di mana setiap anak sekolah tidak hanya kenyang, tetapi juga mengenal identitas pangan bangsanya.

Pertanyaan kedua dari Naura mengenai bentuk kolaborasi efektif antara peneliti, komunitas, dan pemerintah. Mas Agus menjawab dengan promosi dan penjualan produk yang sudah ada serta penguasaan product knowledge, dengan undangan untuk berkunjung ke Pondok Sagu Bogor. Gibran menyampaikan kolaborasi berjalan alami melalui budaya dan pariwisata, pemerintah memberikan nilai kawasan, serta ajakan untuk memperluas jaringan daerah.

Pertanyaan ketiga dari Herry Ginanjar tentang nilai politis sagu layaknya beras dahulu. Mas Agus menjelaskan bahwa sagu memiliki pati resisten tiga kali lipat, penyerapan lambat yang baik untuk diet dan lambung, masuk Proyek Strategis Nasional dengan fokus pada singkong, ubi, dan sagu, dengan catatan perlunya menjaga kesinambungan karena pohon sagu memerlukan waktu 8-10 tahun untuk panen dan saat ini dikembangkan di Seram Timur.

Pertanyaan terakhir dari Reihannisa mengenai hambatan hilirisasi dan diversifikasi. Gibran menyebutkan kesenjangan teknologi, mesin pengolahan sorgum atau umbi yang tidak selengkap padi, harga produk lokal yang mahal karena skala kecil, serta persepsi masyarakat yang masih menganggap umbi sebagai camilan, sehingga edukasi konsumsi sebagai makanan berat yang layak diperlukan.

 

Kesimpulan

Generasi muda memiliki peran strategis dalam membangun ketahanan pangan lokal di Indonesia. Melalui kolaborasi lintas sektor, anak muda dapat menjadi edukator, inovator, dan penggerak dalam pengembangan pangan lokal dengan memanfaatkan sumber daya lokal, mengurangi ketergantungan impor, serta menginisiasi inovasi yang berkelanjutan. Acara ini juga menyoroti pentingnya pendekatan praktis dan kolaboratif mulai dari tingkat rumah tangga hingga komunitas, dengan dukungan kebijakan dan teknologi tepat guna.

Inisiatif seperti urban farming, pengolahan produk berbasis sagu, dan peningkatan literasi pangan lokal menjadi langkah konkret untuk menghadapi tantangan iklim, perubahan pola konsumsi, dan hambatan pemasaran. Optimisme dan aksi nyata generasi muda akan menjadi kunci guna mewujudkan kedaulatan pangan yang berkelanjutan bagi masa depan Indonesia.

Author