Lompat ke konten

Wujud Sebuah Mimpi: AMF sebagai Inkubator Perjalanan Petani Kopi dari Kebun hingga Produk Bernilai

Anwar Muhammad Foundation – Sejak awal, saya percaya bahwa kekuatan sosial, ekonomi, dan lingkungan harus berjalan beriringan dalam setiap program yang digagas Anwar Muhammad Foundation (AMF). Keyakinan itu bukan sekadar teori, tapi sesuatu yang saya rasakan langsung sejak pertama kali terlibat sebagai Project Support dalam program Livelihood Improvement Program (LIP) SERD di tahun 2021.

Perjalanan saya dimulai setelah lulus dari Rekayasa Kehutanan, Institut Teknologi Bandung. Tidak lama berselang, saya langsung bergabung dengan AMF. Latar belakang keilmuan yang saya pelajari, mulai dari ekologi, budidaya tanaman hutan, hingga dasar-dasar rekayasa seperti termodinamika, ternyata sangat relevan dan menjadi bekal penting dalam pekerjaan saya di AMF, karena bidang yang saya tekuni memang masih erat kaitannya. Namun, lebih dari sekadar ilmu di bangku kuliah, ada satu nasihat dosen yang selalu saya ingat: “Azka, di sini kami hanya memberikan kulitnya saja. Sisanya kamu harus banyak belajar ketika bekerja. Luaskan pikiranmu, dan ingat bahwa kamu tidak bisa mengerjakan semuanya sendiri.” Pesan itu tertanam kuat dalam diri saya, menjadi pengingat sekaligus penuntun setiap kali saya menghadapi tantangan di dunia kerja.

Inkubator petani kopi

Sumber: Dokumentasi AMF

Saat itu, saya, Alfiazka Anargha Aldi, masih benar-benar berada di tahap belajar. Tugas saya sederhana: turun ke lapangan, mendampingi petani, mencatat luas kebun, menghitung hasil panen, hingga mengkalkulasi pendapatan mereka yang kala itu masih berstatus sebagai Warga Terdampak Proyek (WTP). Roadmap program sebenarnya sudah tersedia, sehingga pekerjaan saya hanya tinggal mengikuti arahnya. Namun, di situlah saya mulai merasakan langsung kebenaran nasihat dosen saya dulu: bahwa apa yang diberikan di kampus hanyalah “kulitnya”.

Angka-angka yang saya catat di kertas ternyata tidak pernah terlepas dari wajah-wajah petani yang saya temui di kebun. Dari pengalaman sederhana itu, saya belajar bahwa pekerjaan ini tidak hanya soal data dan perhitungan, tetapi juga tentang manusia, harapan, dan kehidupan yang melekat di baliknya.

Tiga tahun berjalan, LIP dinilai berhasil. Namun pertanyaan yang baru muncul: bagaimana program ini bisa terus berlanjut? Bagaimana petani tetap berkomitmen menjalankan praktik baik di tengah tantangan iklim, keterbatasan pengetahuan, dan kebutuhan untuk meningkatkan produktivitas?

Pertanyaan itu membawa saya pada pengalaman lain, ketika ikut mengelola SASCI+ (kolaborasi AMF–GIZ) di Kabupaten Bandung pada 2023. Dari sana saya belajar satu hal penting: Good Agricultural Practices (GAP) bukan sekadar teknik di kebun, tetapi tentang membangun sistem belajar yang membuat petani berdaya, mandiri, dan percaya diri. Bersama rekan saya, Zabrina Gilda Maheswarry, kami mencoba membawa semangat itu ke Semendo, Sumatra Selatan.

Dari rangkaian pengalaman itulah lahir sebuah masterplan—merujuk dari LIP 2020 hingga CSR SERD 2023—yang akhirnya melahirkan program Sustainable Coffee Agriculture and Value-Added Creation (SAVA) pada tahun 2024. SAVA bukan hanya program CSR, tapi sebuah ekosistem: menumbuhkan kekuatan kelompok tani, mendampingi proses panen dan pascapanen, menghadirkan fasilitas bersama, dan menjembatani petani dengan pasar melalui kontrak bisnis yang nyata.

Namun, AMF tidak berjalan sendiri. Untuk memperkuat SAVA, didukung oleh dua entitas, yaitu:

  1. WISE (Waqaf, Infaq, Shodaqoh Equity): prakarsa pembiayaan mikro syariah yang membantu petani lebih tangguh menghadapi perubahan iklim melalui pelatihan keuangan, analisis karakter, strategi diversifikasi pendapatan, hingga akses layanan finansial.
  2. Anwar Muhammad Collagregator (AMC): agregator yang membersamai petani dalam menghasilkan panen berkualitas sesuai standar berkelanjutan dan kebutuhan pasar, sekaligus mendorong praktik agroforestri, memperkuat pascapanen, memberi nilai tambah dari limbah kopi, dan membangun sistem keterlacakan yang transparan.

Bagi saya, inovasi-inovasi ini menjadikan AMF sebagai inkubator—wadah yang mampu melahirkan dampak nyata dari pengalaman di lapangan.

Saya percaya, pengalaman di bangku kuliah dipadukan dengan pengalaman di lapangan dapat menegaskan dan mewujudkan mimpi yang bisa melahirkan perubahan besar. Saya bangga menjadi bagian dari AMF yang terus berusaha menyebarkan dampak, tidak hanya melalui SAVA, tapi juga lewat program-program pemberdayaan masyarakat lainnya.

Dan bagi saya pribadi, perjalanan ini baru saja dimulai. Masih banyak mimpi yang ingin dirajut: agar petani kopi bisa terus hidup dari kebunnya sendiri, hingga menghasilkan produk bernilai yang bisa dinikmati lintas generasi.

Kesimpulan

Program SAVA (Sustainable Coffee Agriculture and Value-Added Creation) yang digagas AMF lahir dari pengalaman panjang mendampingi petani. Program ini bukan hanya CSR, melainkan sebuah ekosistem yang membantu petani kopi dari hulu ke hilir: mulai dari praktik pertanian berkelanjutan, penguatan kelompok tani, pembiayaan mikro syariah, hingga pemasaran dan pengolahan pascapanen bernilai tambah. Dengan dukungan WISE dan AMC, AMF berperan sebagai inkubator yang mendorong kemandirian, ketangguhan, serta keberlanjutan hidup petani kopi.

Author