Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melakukan berbagai langkah cergas dalam upaya menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Keputusan tersebut merupakan komitmen pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam menjalankan agenda pembangunan berkelanjutan seperti pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, sekaligus aksi mitigasi atas perubahan iklim.
Terang saja, Provinsi Sulawesi Selatan menjadi provinsi percontohan pertama yang menandatangani nota kesepahaman (MoU) pembangunan rendah karbon dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas pada 2019 lalu. Kerja sama tersebut merupakan bentuk komitmen Provinsi Sulawesi Selatan menjaga kelestarian lingkungan tanpa mengabaikan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Mereka belajar dari pengalaman terjadinya banjir yang merendam 11 kabupaten/kota. Biaya yang dikeluarkan untuk pemulihan justru lebih besar daripada investasi ekonomi yang diberikan kepada usaha Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
Menindaklanjuti nota kesepahaman pembangunan rendah karbon, Pemerintah Sulawesi Selatan menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2020 tentang Perubahan Peraturan Gubernur Nomor 59 Tahun 2012 mengenai Rencana Aksi Gas Rumah Kaca. Sosialiasi Pergub gencar dilakukan dan mendapat dukungan dari 24 kabupaten/kota. Dalam pelaksanaannya, Pemprov Sulawesi Selatan mendapat dukungan dari berbagai mitra pembangunan, salah satunya dari pemerintah Jerman melalui proyek GIZ MRV-MMI. Proyek ini bertujuan meningkatkan kapasitas dalam melaporkan capaian penurunan emisi melalui aplikasi AKSARA (Aplikasi Perencanaan dan Pemantauan Aksi Pembangunan Rendah Karbon).
Sebelum AKSARA, pemerintah sudah melakukan pemantauan aksi mitigasi perubahan iklimnya menggunakan sistem PEP Online (Pemantauan, Pelaporan, dan Evaluasi) yang kemudian di tahun 2019, bertransformasi menjadi aplikasi AKSARA. Aplikasi ini hadir untuk memudahkan pemerintah untuk perencanaan, pemantauan, dan pelaporan aksi-aksi pembangunan rendah karbon yang sudah terintegrasi dengan sistem verifikasi nasional.
Dalam upaya penurunan emisi GRK, Provinsi Sulawesi Selatan memasang target 3,56 juta ton C02eq melalui berbagai kegiatan di sektor strategis, seperti sektor kehutanan, pertanian, energi, transportasi, pengelolaan limbah, serta kelautan dan pesisir. Luasnya hutan dan lahan gambut yang dimiliki Provinsi Sulawesi Selatan dapat menjadikan sektor kehutanan sebagai penyumbang kontribusi penurunan emisi terbesar. Sebagai contoh, konservasi lingkungan di Kawasan Kebun Raya Jompie Parepare. Kawasan ini dapat berkontribusi sebagai area penyerap karbon yang berperan penting dalam mitigasi iklim.
Keberadaan Kebun Raya Jompie Parepare diperkirakan dapat berkontribusi untuk mencapai target pemurunan emisi GRK tahun 2030 sampai 29 persen (41 persen dengan bantuan internasional), seperti tercantum dalam dokumen Indonesia Nationally Determined Contribution (NDC) dalam kesepakatan Paris Agreement tahun 2015. Selain hutan, pengembangan Enegeri Baru Terbarukan (EBT) juga berperan signifikan dalam menurunkan emisi. Terdapat dua pembangkit listrik EBT bertenaga angin, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap di Kabupaten Sidenreng Rappang dan PLTB Tolo di Kabupaten Jeneponto. Kedua PLTB berperan besar dalam penggunaan EBT yang berkelanjutan dan dapat diperbaharui.
EBT dinilai menjadi solusi terhadap kondisi lingkungan yang telah disesaki oleh polusi udara dari aktivitas masyarakat Sulawesi Selatan sehingga pemanfaatannya harus dimaksimalkan secara bijaksana. Pemprov setempat juga berkomitmen membuka peluang dan terus mendorong para investor mengembangkan EBT di Sulawesi Selatan. Melalui EBT, masyarakat akan hidup lebih sehat dan menghirup udara segar karena hampir tidak ada polusi udara yang dihasilkan. (Tim AMF (Anwar Muhammad Foundation) dan RIB (Rumah Indonesia Berkelanjutan)).