Skip to content

Praktik Green Financing dalam Implementasi Ekonomi Hijau

  • by

Anwar Muhammad Foundation – Bersumber dari materi Muhammad Didi Hardiana, Head of Financing Lab, UNDP Indonesia pada Webinar “Peran Serta Akademisi dalam Mewujudkan Green Economy  Berbasis Pendanaan dalam Kerangka Green Financing”.

Komitmen Indonesia terhadap perubahan iklim sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020—2024, tujuan pembangunan berkelanjutan (Perpres 59/2017), dan Nawa Cita. Melalui NDC, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GHG) dari 29% (unconditional scenario) hingga 41% (conditional scenario) pada tahun 2030. Dalam RPJMN 2020—2024 tertulis bahwa satu dari tujuh prioritas nasional adalah membangun lingkungan, meningkatkan ketahanan bencana, dan perubahan iklim.

Perubahan iklim menjadi masalah yang serius bagi Indonesia apabila tidak segera ditangani

(sumber foto: adobe stock)

Pada 2005—2015, Indonesia mengalami 15.458 bencana. Sebesar 80% bencana dikategorikan sebagai bencana hidrometeorologi seperti banjir, angin topan, gelombang laut yang ekstrim, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, dan cuaca ekstrim. Melihat fakta bahwa variasi suhu rata-rata di Indonesia selama beberapa tahun cenderung meningkat, Indonesia dimungkinkan akan mengalami kerugian hingga 132 triliun akibat perubahan iklim dan bencana ekologi pada 2050.

 

Baca Juga: Peran AMF dalam Pembangunan Berkelanjutan Provinsi Bali

Oleh karena itu, penanganan perubahan iklim ini patut untuk diprioritaskan. Selaras dengan rencana tersebut, pendanaan-pendanaan dialokasikan pada program-program yang berpotensi dalam menurunkan emisi gas efek rumah kaca. Kebutuhan pembiayaan perubahan iklim mulai 2018—2030 ditaksir mencapai 3.461,3 triliun atau 288,4 triliun setiap tahunnya. Sementara itu, alokasi pendanaan terhadap perubahan iklim saat ini masih jauh dari kebutuhan, yakni 99,5 triliun pertahun.

Hal tersebut menunjukkan bahwa masih banyak kebutuhan dana untuk mencapai target perubahan iklim. Green Finance atau pendanaan hijau menjadi penting untuk dilakukan. Pendanaan hijau secara luas diartikan sebagai pengaliran dana untuk perubahan iklim, termasuk tanah, hutan, air, laut, konservasi, ketahanan, dan lain sebagainya. Pendanaan hijau direalisasikan melalui produk dan layanan keuangan. Beberapa jenis produk pendanaan hijau, yaitu ritel, investasi perusahaan, manajemen aset, dan asuransi. Pendanaan melalui produk-produk tersebut bertujuan untuk meningkatkan aliran keuangan dari sektor publik, swasta, dan nirlaba ke kegiatan-kegiatan yang memprioritaskan pembangunan berkelanjutan, misalnya pendanaan teknologi, proyek, industri yang berorientasi pada pemeliharaan kualitas lingkungan.

Dari manakah sumber pendanaan hijau?

(sumber foto: unsplash.com)

Sumber pendanaan hijau didapat dari berbagai sumber. Pertama, ICCTF (Indonesian Climate Change Trust Fund) yang dikelola oleh pemerintah Indonesia. Kedua, Obligasi hijau dan sukuk hijau pemerintah Indonesia yang telah ditinjau oleh  CICERO (Centre for International Climate and Environmental Research). Ketiga, bersumber dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup atau BPDLH yang dikembangkan oleh pemerintah dalam rangka memobilisasi dana lingkungan hidup yang bersumber dari dalam dan luar negeri dengan optimal. Keempat, melalui GEF (Global Environment Facility), yakni pendanaan multilateral yang bersifat incremental (pembiayaan tambahan) dengan tujuan mempercepat program-program pengelolaan lingkungan hidup secara global. Kelima, Adaptation Fund atau AF yang merupakan pendanaan multilateral yang berfokus pada kegiatan adaptasi perubahan iklim. Selanjutnya, GCF (Green Climate Fund) yang mendistribusikan dana untuk proyek, program, kebijakan, dan aktivitas  yang berkaitan dengan upaya mitigasi dan adaptasi iklim lain di negara berkembang.

Baca Juga: Investasi Berkelanjutan di ASEAN: Peluang dan Tantangan

Dalam mendorong instrumen pendanaan hijau, UNDP memiliki peran untuk mengembangkan ICCTF dan BPDLH, climate budget tagging melalui Pendanaan Anggaran Perubahan Iklim (CBT) yang telah dikembangkan dan dilaksanakan sejak 2014 dengan dukungan UNDP, meningkatkan sukuk, menerapkan islamic blended finance melalui pemanfaatan dana zakat untuk mendukung aksi perubahan iklim dan SDGs, serta mendukung GCF.

Pengoptimalan upaya pemerintah dalam membangun lingkungan untuk mencapai perubahan iklim dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pemerintah dapat mengembangkan kebijakan untuk mendorong pendanaan hijau (carbon pricing, environmental tax, dll). Di sektor institusi dan lembaga keuangan, penyediaan dana maupun pengembangan instrumen untuk proyek hijau sebaiknya ditingkatkan. Mengingat kebutuhan dana perubahan iklim yang sangat besar, peningkatan kerjasama antara seluruh pihak (publik, swasta, akademisi, dan filantropi) dalam pengembangan skema pembiayaan inovatif sangat diperlukan. 

Author